Mengingat arsip breakdance yang saya amati adalah kumpulan berita dari media cetak lokal era 1980-an (baca: lebih dari tiga setengah dasawarsa lalu), apakah judul dalam bentuk pertanyaan di atas sudah terlambat atau masihkah relevan untuk dilontarkan?
Tulisan mengenai breakdance di media menyampaikan bagaimana tarian ini di Indonesia secara umum berada dalam tegangan antara ditolak dan diterima; antara perbenturannya dengan budaya lokal dan penerimaannya asal ada pengawasan, yang artinya boleh melakukan breakdance tetapi tunduk pada regulasi tertentu. Memosisikan breakdance sebagai kegiatan olahraga sepertinya dapat menjadi jalan tengah; kaum muda tetap dapat berekspresi dalam sikap sportif dalam konteks perlombaan dan dalam konteks pertunjukan breakdance adalah tontonan bagi masyarakat.
Lebih lanjut, selain di Jakarta, sikap yang diambil terhadap breakdance dapat dikatakan beragam; semisal seperti di Jakarta seperti yang dapat dibaca dalam artikel dalam majalah Tempo bertanggal 5 Januari 1985 bahwa isu pelarangan breakdance di Jawa Tengah tidak perlu terjadi dan seperti dalam Mutiara bertanggal 7 Januari 1985 tentang meriahnya festival breakdance di Yogyakarta. Kedua artikel tersebut bersanding dengan artikel dalam Merdeka bertanggal 2 Januari 1985 tentang belum diterimanya breakdance oleh masyarakat Jawa Barat dan dalam Berita Buana bertanggal 16 Januari 1985 yang memberitakan tentang pelarangan breakdance di Banda Aceh. Hal lain yang mengemuka adalah pandangan bahwa breakdance adalah -sekadar- tren yang suatu saat akan hilang dengan sendirinya, oleh karena itu tidak perlu dikhawatirkan.
Bagi saya sendiri yang banyak berkegiatan di Jakarta, hal yang mengemuka dalam memahami fenomena breakdance adalah perihal keurbanan -dengan memahami kembali pengertian bahwa breakdance adalah manifestasi budaya urban berdasarkan asalnya di South Bronx-New York di Amerika-. Jakarta sebagai ruang urban yang saat ini -masih- sebagai ibu kota negara (baca: pusat pemerintahan dan perekonomian) dengan muatan -khas- keurbanan yaitu kolektivitas nilai dipandang mengandung suatu potensi. Adapun kehadiran breakdance pada era 1980-an di lingkup lokal mendorong -kembali- diangkatnya isu kelokalan, yang diartikan bahwa sebelum adanya keragaman nilai sebagai konsekuensi menjadi urban, dalam hal ini (kekayaan) tari berbasis tradisi telah lama dikandung. Lingkup lokal yang membuka diri terhadap realitas modernitas—dengan Jakarta sebagai gerbangnya, konsekuensi keurbanan pun menguat. Kembali pada arsip, keragaman nilai pun menumbuhkan beragam reaksi dengan memosisikan breakdance sebagai suatu studi kasus produk dari luar; yang memunculkan kritik pada kepribadian bangsa, himbauan untuk mempelajari latar hal luar sebelum melakukannya sampai (kembali) berbicara tentang kesejarahan. Dengan pengertian bahwa kesejarahan adalah suatu konteks, ‘rekontekstualisasi’ dalam judul tulisan ini disadari bukanlah hal yang ringan. Dengan mengatakan demikian setidaknya rekontekstualisasi diposisikan sebagai suatu potensi, lengkap dengan kompleksitasnya; bahwa dalam hubungannya dengan seni secara umum, melalui pemikiran berbasis estetika agar seni bernilai, demi tercapainya suatu keutuhan menggerakkan potensi maka sejatinya kesejarahan perlu disertai dengan aspek ekspresi (yang tak terlihat) dan manifestasi (yang terlihat) secara organik.
Sampai di sini, sepertinya breakdance tidak dapat serta-merta disejajarkan dengan tari berbasis tradisi; bukan soal hierarki atau posisi tinggi atau rendah, melainkan bila potensi ingin digerakkan, maka terbuka peluang untuk suatu ruang pembelajaran dengan kekayaan muatannya. Semisal tentang yang sifatnya geografis, sosial, dan kemungkinan memanfaatkan teknologi sampai berdiskusi tentang nilai yang kesemuanya berbasis kreativitas dalam hubungannya dengan seni secara mendasar. Menyandingkan breakdance dengan Reyog Ponorogo berdasarkan gerak akrobatik — berdasarkan artikel “Breakdance Bukan Barang Baru” (Berita Buana, 1 Januari 1985) — yang membutuhkan kekuatan bagian tubuh tertentu mungkin dapat dipertimbangkan — secara teknis (gerak) didasarkan pada tubuh (penari); tetapi sementara itu perlu juga memperhatikan bahwa keduanya mengandung konteks yang berbeda. Dalam artikel “Melihat Breakdance” (Mutiara, 15 Januari 1985) yang senada yang menyandingkan gerak breakdance dengan tari Buto Cakil, pemaparan dari sisi kedokteran (flexibility, strength, agility) menarik bagi saya sebagai suatu pengetahuan.
Bahwa cukup banyak ditemukan pernyataan dalam arsip yang menyandingkan atau membandingkan breakdance dengan tari tradisi secara gerak, adakah hal tersebut menandai — bila potensi (rekontekstualisasi) ingin digerakkan, bahwa upaya dapat dimulai dari aspek gerak? Dalam keluasan wacana budaya, baik tradisi, modern dan kontemporer, secara indra(wi) perihal bentuk (dalam tari sebagai manifestasi budaya yaitu gerak) adalah hal awal yang ditangkap; yang terlihat tersebut secara budaya diketahui mengandung muatan yang tak terlihat (baca: nilai). Demikian -setidaknya- breakdance yang sampai di Indonesia pada era ’80-an telah berimbas reaksi perihal nilai; dengan posisi bertahan, menyerang dan bernegosiasi.
Saat ini, lebih dari tiga setengah dasawarsa lalu, dengan breakdance sebagai salah satu produk luar – yang kemudian disertai dengan beragam produk luar lainnya, pertanyaannya adalah bagaimana potensi berdasarkan hal-hal luar yang sampai di lingkup lokal akan disikapi?