Judul tulisan ini dibuat dengan mengacu pada tema Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023—yaitu “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”. Bahwa penulisan ini dibuat berdasarkan catatan dari PKN 2023, khususnya dari program Mitra Ruang Ekspresi Warga (selanjutnya ditulis: program Ruang Warga), turunan dari kuratorial Laku Hidup -dengan beberapa anggota Komite Tari-DKJ terlibat dalam program-.
Mengacu pada tema di atas, program Ruang Warga bertujuan memberdayakan potensi ruang tujuan program untuk pengayaan secara sosial budaya—dengan format pemberdayaannya adalah lokakarya dan presentasi hasil lokakarya yang melibatkan warga setempat. Demikian dihubungkan dengan tema PKN 2023, judul tulisan ini berpadanan; yaitu ‘bumi’ dengan ‘ruang’ dan ‘kebudayaan’ dengan ‘koreografi’. Sementara ‘merawat konteks’ adalah temuan berdasarkan keterlibatan dalam program.
Adapun tim kurator Laku Hidup menunjuk DRKR (Dari Rumah Ke Rumah), sebuah kolektif seni pertunjukan yang didirikan di masa pandemi, sebagai tim program.
Berdasarkan tujuan program Ruang Warga, metode program tumbuh secara organik di masing-masing ruang tujuan program. Sementara kesamaan pola di awal program adalah tim program melakukan observasi partisipasi untuk membangun orientasi secara spasial, kemudian berinteraksi dengan warga setempat. Interaksi berlanjut pada (ber)diskusi mengenai konteks ruang secara isu dan potensinya; baik secara spasial, temporal, dan elemen warga. Diskusi akan menentukan arah lokakarya -termasuk menentukan fasilitator lokakarya yang sesuai dengan kebutuhan-. Demikian untuk menggerakkan potensi ruang, digunakan pendekatan dengan tatanan struktur-sistem-pola yang lentur untuk suatu kontekstualisasi.
Program Ruang Warga diadakan di empat lokasi; di Jakarta Pusat yaitu di Cikini VII dan Galur; di Pulau Pramuka, ibukota kabupaten administrasi Kepulauan Seribu di Jakarta; dan di Sempur, Bogor. Catatan dari menjalankan program menunjukkan keragaman konteks ruang—yang dapat dikatakan merepresentasikan perihal kolektivitas nilai yang identik dengan keurbanan. Secara spasial, mengemuka konteks kampung kota, kepulauan, batas-batas administrasi (kelurahan, kecamatan), dan ruang publik. Ragam konteks tersebut mengandung potensi sekaligus problematisasi. Demikian secara program dan tatanannya, potensi sekaligus problematisasi mengemukakan daya deskriptif dan kritis. Daya deskriptif berhubungan dengan perihal intraestetik (kekaryaan, semisal format karya) dan daya kritis berhubungan dengan perihal ekstraestetik (seputar kekaryaan, semisal isu ruang dan keterlibatan warga).
Sebagai studi kasus, semisal pembahasan awal di Cikini VII mengemukakan perihal letak ruang yang berdekatan dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat kesenian di Jakarta. Perihal letak tersebut memicu diskusi—apakah Cikini VII mungkin digerakkan -juga- sebagai kawasan seni. Diskusi yang awalnya difasilitasi oleh pengurus Rukun Warga kemudian melibatkan Karang Taruna—yang dalam berjalannya program disepakati sebagai penggerak utama.
Di Galur, masalah yang dihadapi adalah citra ruang yaitu kampung tawuran. Sementara di Galur juga terdapat teater-teater warga yang aktif berlatih, pentas, dan mengikuti perlombaan/festival. Diskusi awal dengan tokoh warga mengungkap bahwa Galur terus berbenah untuk mengubah citra ruangnya menjadi kampung teater.
Di Pulau Pramuka, diskusi awal dengan tokoh masyarakat mengungkap bahwa telah dijalankan upaya rekonstruksi budaya masyarakat pulau selama lebih dari satu dekade. Upaya tersebut menyikapi permasalahan perihal identitas secara kesejarahan, dan di sisi lain perihal lingkungan karena sampah plastik.
Di Sempur-Bogor, tim program mendapati kelompok-kelompok tari tradisi dan modern yang berlatih secara mandiri—dengan memanfaatkan ruang publik yaitu di Taman Ekspresi. Antar kelompok tidak saling kenal; sementara tim program memandang kelompok-kelompok tersebut sebagai potensi secara kreasi dan kegiatan yang positif bagi kaum muda.
Observasi dan diskusi awal di masing-masing ruang program menumbuhkan konsep lokakarya sampai dengan presentasi hasil lokakarya secara organik—yang diupayakan untuk kontekstual.
Kembali sebagai studi kasus, semisal di Cikini VII, dibangun kerja sama dengan Institut Kesenian Jakarta sebagai lembaga pendidikan yang berada di TIM—untuk menghubungkan potensi berdasarkan letak yang telah disebutkan. Sementara tim program bekerja sama dengan Karang Taruna secara keorganisasian menyusun rencana sampai dengan pelaksanaan festival warga—yang kemudian diberi judul Cikini Tujuh Festival (diadakan pada Sabtu, 21 Oktober 2023). Dalam festival tersebut, warga unjuk potensi melalui bazaar kuliner, pameran fotografi, dan panggung warga yang menampilkan seni Hadroh, pencak silat, musik, teater komedi, dan drama musikal.
Di Galur diadakan lokakarya teater tubuh—dengan muatan eksperimen untuk menyegarkan pendekatan berkarya yang sebelumnya mengacu pada teater realis. Dengan fasilitator yang ditunjuk berlatar belakang seni tari, peserta lokakarya berlatih fleksibilitas tubuh dan bergerak dengan hitungan; dengan gerakan-gerakan dari keseharian yang dikemas secara koreografis. Hasil lokakarya adalah pentas teater tubuh berjudul “Tubuh-tubuh Galur” di RPTRA Komando Ceria–yang diperankan oleh anak-anak sampai dengan lansia; bernarasi tentang Galur sebagai ruang sosial dan ekonomi. Pentas tersebut adalah bagian dari Festival Budaya Galur 2023 yang diadakan oleh Kelurahan Galur dengan didukung oleh pihak kementerian–atas inisiatif tokoh warga setempat (diadakan pada Sabtu, 27 Oktober 2023).
Di Pulau Pramuka, diadakan lokakarya tari yang melibatkan siswa SD dan SMP, dan lokakarya mengolah sampah plastik yang melibatkan para ibu rumah tangga. Sebelum program MREW, telah berjalan lokakarya teater oleh tim Olah Rasa (program pra PKN 2023) yang melibatkan siswa SMA. Tim program Olah Rasa dan Ruang Warga pun sepakat untuk berkolaborasi—yang berbuah karya pentas seni pertunjukan berjudul “Balada Janda Mengandang”. Sementara masyarakat Pulau Pramuka mengadakan kegiatan budaya Hajatan Pulang Babang II yang didukung oleh pihak kementerian (diadakan pada Sabtu, 27 Oktober 2023); kelanjutan Hajatan Pulang Babang pertama pada 2013.
Di Sempur-Bogor, kelompok tari tradisi dan modern yang berlatih di Taman Ekspresi dipertemukan, awalnya agar berkenalan. Fasilitator memberi kesempatan untuk setiap kelompok menunjukkan dance routine mereka, kemudian antar kelompok saling memberi masukan–untuk membangun keakraban. Memanfaatkan spasial Taman Ekspresi yang luas, diadakan lokakarya tari semi-kolosal yang memadukan elemen tradisi dan modern—dengan hasil tari “Babarengan” yang melibatkan sekitar 50 penari. Tari tersebut dipentaskan sebagai penutup kegiatan budaya Sunday Sampurasun–yang diadakan oleh pengurus Kelurahan dan Karang Taruna Sempur dengan didukung oleh pihak kementerian (diadakan pada Minggu, 22 Oktober 2023).
Kembali pada keragaman konteks masing-masing ruang tujuan program Ruang Warga, dengan kelindan antara potensi & problematisasi, dapat dikatakan bahwa upaya merawat ruang dan koreografi mengemuka dengan mengandung suatu kebaruan; bukan -sekadar- secara harfiah/intraestetik, melainkan secara makna/ekstraestetik.
Bahwa kebaruan yang dimaksud dicapai dengan merawat konteks; dalam hal ini bukan mengubah konteks/transformasi, melainkan memandang konteks sebagai daya bolak-balik/transmisi.
Semisal secara spasial yaitu transmisi antara peruntukan dan kemungkinan memanfaatkan ruang. Sebagaimana dalam program Ruang Warga, presentasi hasil lokakarya diadakan di ruas jalan umum, RPTRA, alun-alun, dan taman kota. Persiapan semisal rapat panitia dan latihan bertempat di kantor administrasi setempat, balai warga, dan sekolah. Diadakannya kegiatan berbasiskan seni di ruang-ruang tersebut tidak lantas menghentikan aktivitas keseharian warga. Demikian seni menjadi inklusif karena merepresentasikan kandungan konteks ruang di ruangnya sendiri.
Sementara secara temporal yaitu transmisi antara masa lalu, kini, dan depan. Bahwa apa yang diadakan merefleksikan baik kebiasaan dan kesejarahan ruang beserta elemen sosialnya, yaitu warga—baik secara individu dan kelompok, termasuk komunitas &/ kolektif. Demikian warga adalah pembaca, pelaku, dan penentu pemberdayaan ruangnya berdasarkan potensi yang ada—untuk menjadi relevan dan aktual.
Sampai di sini, tulisan ini kembali kepada perihal yang diangkat saat Telisik Tari 2023—mengenai perluasan pemaknaan arsip. Bahwa selain arsip koleksi DKJ yang secara umum berupa artikel dari media cetak di masa lalu–khususnya terkait tari, pada 2023 Telisik Tari menawarkan pandangan bahwa elemen dan sekeliling repertoar tari -juga- sebagai arsip tari. Pandangan tersebut berdasarkan Komite Tari-DKJ menumbuhkan pembahasan tentang expanded choreography pada 2022.
Demikian ‘merawat konteks’ yang mengemuka dari membahas studi kasus program Ruang Warga dalam PKN 2023 berpotensi untuk dipertanyakan -lebih lanjut untuk suatu produksi pengetahuan-: apakah konteks dapat dimaknai sebagai arsip.