Antara Tari dan Tubuh yang Beradaptasi (bagian II)
Pemikiran Farida dan Julianti setelah mereka melakukan riset dan latihan serius dari para maestro tari tradisi di daerah ternyata memiliki perspektif yang lain. Menurut mereka, gerakan-gerakan balet dan tari tradisional dapat menyatu dalam tubuh, yakni tubuh yang telah terisi memori. Gerakan keduanya (baca: balet dan tari tradisional) akan saling beradaptasi dalam tubuh yang terlatih, yang telah menyerap pengalaman ketubuhan. Sehingga, luaran gerakan yang dihasilkan bukanlah hanya sekadar penyatuan gerakan dalam sebuah koreografi, melainkan gerakan yang sudah saling beradaptasi dalam tubuh yang keluar dari dalam diri penari. Kuncinya berada di dalam tubuh penari, bukanlah pada koreografinya. Balet memberikan kekuatan pada fondasi tubuh penari dalam setiap gerakannya, dan tari tradisional melengkapi dengan memberikan jiwa pada fondasi tubuh penari dalam setiap gerakannya (Julianti Parani, wawancara 24 April 2021).
Riset yang dilakukan Julianti dan Farida tidaklah mudah. Kala itu, mereka bersama Edi Sedyawati berkunjung selama sebulan ke Sumatera Barat untuk mempelajari tari-tarian Minang, walaupun sebelumnya belajar dari Huriah Adam. Tari-tarian Minang merupakan salah satu tari tradisional yang bersifat dinamis dan mudah dipadupadankan, terlebih lagi gerakannya banyak lompatan ringan yang dapat disandingkan dengan gerakan balet. Dalam risetnya, Julianti dan Farida sangat hati-hati dan banyak pertimbangan dalam memilih gerakan tari tradisional untuk koreografinya. Riset mendalam dilakukan untuk mencari tari yang ‘aman’ dari pakem tradisi yang bersifat mengikat (Farida Oetoyo, dalam buku “Saya Farida: Sebuah Autobiografi”, 2014).
Latihan yang didapat dari para empu tari tradisi melengkapi teknik dasar balet yang menekankan kekuatan fisik struktur tubuh. Keluwesan dan ‘ruh’ yang ada pada tari tradisional secara filosofis maupun gerakan, akan menciptakan tarian yang juga sarat akan makna. Pencampurannya dengan teknik balet sebagai gerakan dasar akan memperkaya ketrampilan seorang penari dalam ketubuhannya. Hal inilah yang menjadi modal utama seorang koreografer tari, selain ide akan gerakan komposisi tari. Proses penciptaan karya ini menjadi sangat penting dalam sebuah pertunjukan.
Pemikiran Farida dan Julianti ini tertuang dalam konsep koreografi balet Indonesia pada sejumlah pertunjukan yang dihadirkan dengan sukses dan mendapat banyak pujian walaupun penuh tantangan suka duka. Pada tahun 1960, Julianti Parani menciptakan beberapa pementasan balet bercitra Indonesia antara lain Sangkuriang, Petruk, Garong-garong, Kamajaya, Pendekar Perempuan, Plesiran-Cokek, dan lain sebagainya. Sedangkan Farida menciptakan pementasan yang berjudul Tok, Gunung Agung Meletus, Rama-Sinta, Burung Gelatik, Loro Jonggrang, Putih-putih dan beberapa pementasan lain yang menghadirkan tema-tema nusantara dengan teknik balet yang kuat (Farida Oetoyo, dalam buku “Saya Farida: Sebuah Autobiografi”, 2014).
Gagasan ini diperkuat dengan pengalaman murid Farida, yaitu Rusdy Rukmarata, Ditta Miranda, dan Linda Hoemar. Rusdy pernah terlibat dalam pementasan karya Farida yang berjudul Gunung Agung Meletus di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Pada pementasannya terlibat juga para penari yang juga merupakan tokoh (maestro) dalam dunia tari Indonesia seperti Sardono W. Kusumo, Tom Ibnur, Trisapto, dan Sentot Sudiharto. Musiknya digarap oleh Trisutji Djuliati Kamal.
“Suasana pementasan itu masih sangat melekat dalam ingatan saya. Sangat menarik sekali. Komposisi musiknya dengan piano, dasar tariannya balet, tapi suasana dan gerakannya tetap terasa Bali. “Gunung Agung Meletus” menjadi salah satu karya yang sangat menginspirasi saya dalam berkarya. Banyak tarian yang saya buat setelahnya, memakai unsur Bali, tapi dengan dasar balet.”
(Rusdy Rukmarata dalam paparannya di Pointe to Remember, 2019).
Berdasarkan pengalaman Rusdy sebagai murid Farida, ditunjukkan dalam setiap latihan dan pertunjukannya, bahwa Farida menuangkan ke-Indonesia-annya melalui balet dan bahwa menjadi Indonesia tidaklah harus selalu etnik, melainkan bagaimana pengalaman tubuh menampilkan ‘rasa’.
“Seniman beda dengan politisi. Bagi Miss Fari, membuat “Gunung Agung Meletus” dan “Carmina Burana” itu sama Indonesianya, meski Carmina Burana aslinya karya Carl Orff, orang Jerman. Miss Fari juga membuat karya dengan musik Sergei Prokofiev. Semua karya ini bukan karya asing, tapi balet Indonesia. Kenapa? Karena karya-karya ini dibuat oleh seniman Indonesia dan ditampilkan oleh penari-penari Indonesia.”
(Rusdy Rukmarata dalam paparannya di Pointe to Remember, 2019).
Ditta Miranda, murid Farida yang telah menjadi penari balet professional di dance company asuhan Pina Bausch, Jerman, juga menguatkan gagasan balet Indonesia melalui pengalaman ketubuhan (baca: memori). Menurut Ditta, ada perkataan Farida yang selalu melekat dan membekalinya dalam berkarir sebagai penari profesional di Eropa. Perkataan yang juga merupakan pesan dan pembelajaran bagi Ditta pada masa awal ia belajar balet, yaitu:
“Sebagai orang Indonesia, setelah tiga tahun belajar balet, kamu harus belajar tari tradisional Indonesia. Karena badan kita badan Indonesia, kita nggak punya badan balerina, kaki panjang balerina. Jadi kalau cuma balet saja kita nggak akan bisa jauh. Apalagi kita di Indonesia, harus belajar tari Indonesia.”
(Ditta Miranda dalam paparannya di Pointe to Remember, 2019).
Pesan ini dipegang Ditta dan diikuti, ia pun mengikuti berbagai macam latihan tari tradisional yaitu tari Bali, lalu tari Jawa berlatih kepada Trisapto, tari Sulawesi kepada Wiwiek Sipala, tari Sumatera kepada Tom Ibnur, dan lain sebagainya. Latihan tari tradisional ini menjadi kekayaan dan kekuatan dalam pengalaman ketubuhan Ditta, tubuhnya sudah memiliki memori yang embodied.
Ketika bekerja dengan Pina Bausch, gerakan tubuh Ditta menjadi berbeda dengan yang lain karena telah memiliki memori tari tradisional selain memang memiliki karakter anatomi yang juga khas Asia. Menariknya, berbeda di Eropa dimaknai dengan ‘unik’ yang tentunya sangat diapresiasi dan dihargai. Pesan dari Farida memang terbukti dari karir Ditta yang gemilang di Eropa (catatan dari Renny Turangga dan Iwan Setiawan dalam Pointe to Remember, 2019).
“Sekarang saya bisa kerja di company luar negeri, mereka tertarik pada saya karena bisa tari tradisional. Jadi kelihatan beda dari yang lain. Mereka memang selalu mencari yang unik. Kalau balet saja, ya, saya nggak ke mana-mana. Di sana banyak penari balet yang jauh lebih bagus. “Ketika ada kesempatan untuk membuat koreografi sendiri, saya langsung bikin saja, tanpa berpikir sebelumnya untuk membawa budaya Indonesia dalam gerakan saya. Tanpa saya sadari, di dalam badan saya sudah ada tari tradisional Indonesia. Kelihatan beda dari cara saya bergerak. Di sana, semakin unik semakin disukai.”
(Ditta Miranda dalam paparannya di Pointe to Remember, 2019).
Seperti halnya Ditta Miranda, Linda Hoemar salah seorang murid yang bersekolah balet di Nritya Sundara (cikal bakal Sumber Cipta, sekolah balet Farida Oetoyo), mendapatkan latihan tari tradisional selain tari balet. Ia belajar tari Betawi, Minang, Jawa, Bali dan Pakarena. Hasilnya, Linda menjadi penari yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Alvin Ailey American Dance Center, New York, Amerika Serikat (catatan dari Renny Turangga dan Iwan Setiawan dalam Pointe to Remember, 2019). Pengalaman tubuh terhadap tari balet dan tradisional Indonesia memperkaya ‘rasa’, bukan hanya pada gerakan ataupun koreografi. Keduanya (baca: balet dan tari tradisional) saling beradaptasi dalam proses ketubuhan, baik dalam gerakan juga adaptasi terhadap anatomi tubuh penari Asia (baca: Indonesia). Inilah yang disebut oleh Farida sebagai balet Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh Claire Holt (1967) dalam Asian Studies: Continuty and Changes, bahwa kebudayaan itu tidaklah pernah statis, namun akan terus berkembang, segala pengaruh kebudayaan dari luar tidak hanya diserap begitu saja, namun akan diadaptasi, diolah dan diproses oleh kebudayaan sebelumnya (lokal) menjadi kebudayaan yang baru. Sama halnya dengan balet, sebagai produk budaya baru ia beradaptasi dengan budaya lokal. Balet Indonesia merupakan produk budaya hasil adaptasi lokal.
Apa yang telah diajarkan oleh Farida Oetoyo maupun Julianti Parani atas gagasan mereka tentang balet Indonesia tentunya telah mengubah paradigma seni tari dan koreografi di Indonesia hingga kini. Gagasan ini juga yang telah memperkaya seni tari kontemporer di Indonesia saat ini, serta telah banyak menghantarkan para penari Indonesia di arena global.
Balet Indonesia sebagai Strategi Budaya dan Identitas Lokal
Warisan Julianti Parani dan Farida Oetoyo tentang balet Indonesia yang didasari atas kecintaan mereka terhadap Indonesia dan balet ini, kemudian mempengaruhi tari dan koreografi di sekolah-sekolah tari di Indonesia. Gagasan balet Indonesia kala itu dapat dikatakan juga sebagai suatu bentuk resistensi budaya atas pertarungan identitas. Ada rasa nasionalisme sebagai warga bangsa Indonesia walaupun mereka berdarah campuran. Nasionalisme ini menjadi salah satu dasar pemikiran tentang kelokalan, bahwa kelokalan menjadi penting sebagai upaya eksistensi diri dari rasa nasionalisme yang tinggi di masa itu.
“Ketika saya ke Cina, ada balet Cina. Kenapa di Indonesia tidak bisa.”
(Julianti Parani, wawancara 2021)
Berbeda dengan Julianti yang terinspirasi dengan balet Cina, pencarian akan gagasan Farida tentang balet Indonesia awalnya muncul untuk mencari kebaruan dalam pola-pola balet lama (klasik). Terutama setelah Farida pulang dari Amerika untuk belajar balet. Negeri Paman Sam memberikannya perspektif baru tentang tari balet yang ternyata tidak harus ‘saklek’, melainkan bisa lebih bebas dan bervariasi. Di titik itu ia mulai berpikir tentang Indonesia yang kaya akan tari tradisionalnya dan akan memberikan kemungkinan yang lebih banyak lagi untuk kreasi tari. Diungkapkan Farida bagaimana minatnya tidak lagi pada disiplin balet klasik melainkan pada tarian rakyat-folklor (“Farida Syuman: Ballet Amerika Telah Sampai pada Jalan Buntu”, Kompas, 4 Juli 1974). Walau begitu, Farida tetap tidak meninggalkan teknik dasar balet klasik yang menurutnya dapat menguatkan gerakan tari tradisional, jadi saling melengkapi.
Wacana balet Indonesia ini cukup mendapat perhatian dan masuk sebagai konsep dalam Pekan Balet yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 80-an. Namun, sayangnya festival ini tidak bertahan lama. Banyak yang mengatakan bahwa tidaklah mudah mencari Indonesia dalam balet, akibat dari kurangnya wawasan ataupun karena masalah teknis yang memang sulit untuk menyatukan keduanya. Seperti yang dikatakan oleh Julianti bahwa butuh latihan bertahun-tahun untuk dapat menciptakan balet Indonesia. Kesulitan ini merupakan salah satu yang kemudian membuat pencarian Balet Indonesia memudar khususnya para peserta yang mengikuti Pekan Balet. Terlihat dari para peserta yang mengikuti Pekan Balet makin lama makin berkurang peminatnya, terutama yang membawakan tema Nusantara (balet Indonesia). Tercatat pada Pekan Balet IV 1987, dalam penyelenggaraannya festival ini dianggap sudah hambar dengan konsep balet bercitra Indonesia. Namun, dalam perkembangannya ternyata beberapa grup balet yang pernah mengikuti Pekan Balet di tahun 80-an, generasi penerusnya masih memegang dan mewarisi gagasan balet Indonesia hingga saat ini. Gagasan ini kemudian diterapkan dalam kompetisi skala internasional saat ini. Sebut saja sekolah balet Namarina, Sumber Cipta dan Marlupi, merupakan sekolah balet tertua yang dalam beberapa koreografinya menggunakan konsep balet Indonesia — walaupun balet klasik juga masih dipelajari.
Marlupi termasuk sekolah balet yang banyak mendapatkan prestasi di ajang internasional. Terutama 4 tahun belakangan ini, beberapa prestasi diraih oleh Marlupi. Balerina-balerina murid dari Marlupi Dance Academy menjuarai peringkat 1 di kejuaraan American Grand Prix, New York tahun 2019, di kategori PreCompetitive — yaitu Freya Zaviera dan Ilona Jahja. Lalu Rebecca Alexandria Hadibroto di tingkat junior. Setiap tahunnya, Marlupi Dance Academy (MDA) mengirimkan murid-murid terbaiknya untuk berkompetisi di tingkat internasional yang kemudian sukses mengharumkan nama bangsa Indonesia. Seperti di tahun 2022 dalam kompetisi balet internasional Asian Grand Prix (AGP) 2022, para murid dari MDA berhasil meraih dua emas, perak, dan perunggu dan posisi terbaik. Dua murid di antaranya juga meraih beasiswa seni balet ke sekolah bergengsi di mancanegara, salah satunya adalah Nicole Kosasi Widjaja. Selain Nicole, Jessica Diamanta juga meraih beasiswa AGP 2023. Pemenang lainnya di kategori Performance A yaitu Athanasia Kirey di posisi ke-8, kemudian Eva Julia Sutanto di posisi ke-4, serta Ni Luh Putu Aneira meraih medali perunggu, dan Tiffany Emanuela meraih medali perak. Di kategori Performance B diraih oleh Shaqueena Yefta Hutasoit yang meraih medali emas. Di kategori Junior A dimenangkan oleh Nicole Kosasih Widjaja yang meraih medali emas, dan di kategori Senior Mikha Aurelia berada di posisi ke-6. Kemudian di ajang Internasional Young Dances Festival ke-15, MDA ikut serta menampilkan tari tradisional khas Jawa Timur, yaitu Hokya.
“Tarian ini khas Jawa Timur dan kami tampilkan di Denmark, dipadukan dengan kostum, dan lagu khas Indonesia. Responsnya luar biasa sekali, diapresiasi oleh penonton di sana. Kami ingin exchange culture dan mengenalkan nama Indonesia ke kancah internasional, supaya balet Tanah Air lebih dikenal lagi.”
(Claresta Alim, Direktur Performing Art Marlupi Dance Academy, wawancara dalam artikel detikhot “Tarian Hokya ala Marlupi Dance Academy Sukses Memukau di Denmark”, 24 Juni 2022.
Tautan: https://hot.detik.com/art/d-6145000/tarian-hokya-ala-marlupi-dance-academy-sukses-memukau-di-denmark)
Keikutsertaan Marlupi Dance Academy dalam pelbagai festival internasional, umumnya memberikan sentuhan Indonesia dalam karyanya. Ini yang membedakan antar peserta, karakter atau identitas menjadi keunggulan. Identitas membedakan satu dengan yang lain, sehingga menjadi terlihat unik dan diperhatikan, di luar dari teknik yang memang harus menguasai sebagai dasar dari tari itu sendiri. Namun, semua balerina yang bisa ikut serta di ajang internasional sudah tentu telah melewati (lolos) tahap ‘teknik’, sehingga jika tidak memiliki identitas maka akan sama seperti peserta lainnya.
Seperti yang dikatakan Sal Murgiyanto (1983) tentang balet Indonesia, menurutnya balet Indonesia dihadapkan dalam dua pilihan yaitu tetap dengan balet klasik atau menyesuaikan tuntutan masa depan. Di Eropa maupun Amerika, sudah mulai ada pergeseran untuk tidak bertahan pada balet klasik yang sangat mahal dan prestise, melainkan sudah mencoba menyesuaikan dengan tuntutan penonton yang baru, yakni balet yang main (pentas) di pinggiran kota. Sal juga menyarankan agar balet Indonesia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (masyarakat) yang baru. Pernyataan Sal tersebut relevan dengan balet masa kini, yakni balet sudah harus punya ‘warna lokal’ dari masing-masing wilayah tempat balet berkembang. Oleh karenanya, tiap negara memiliki ciri dan karakter (identitas) masing-masing.
Jika melihat perkembangan balet Indonesia dulu dan kini, terlihat perbedaan tujuannya. Di Era Farida dan Julianti, balet Indonesia Indonesia hadir salah satunya untuk turut melestarikan tari tradisional, namun kini tari balet Indonesia hadir untuk dapat bersaing di arena global, serta untuk memperkenalkan identitas ke mancanegara. Apakah balet Indonesia kini memang membawa ideologi kebangsaan sebagai identitasnya? Atau memang karya dengan karakter identitas ‘lokal’ ini dengan sengaja dibuat sebagai pembeda dengan karya-karya lain (pesaing) di arena global? Seperti yang dikatakan oleh Hall (1997), bahwa identitas berfungsi untuk menegaskan perbedaan diri dengan bangsa lain walaupun sebenarnya identitas itu sendiri merupakan subjek yang tersusun dari kebergandaan identitas, tidak akan pernah tetap dan menetap, serta tidak akan ada yang otentik. Ketika dikaitkan dengan apa yang telah dilakukan oleh para sekolah balet di Indonesia, bahwa mereka menyasar pasar global, artinya memang pasar konsumen karya tidak hanya terbatas pada dalam negeri saja, melainkan juga untuk konsumen mancanegara. Untuk itu, tentunya akan berupaya agar karya-karyanya dapat diterima oleh konsumen secara luas (internasional-global). Hal ini tentunya juga terkait dengan masalah selera pasar global.
Seperti halnya yang terjadi pada Ditta Miranda, yakni berkarakter ‘unik’ dan ‘dilihat’ oleh Pina Bausch, yang dilihat adalah sesuatu yang berbeda dan memiliki identitas. Ada kebaruan yang dicari. Berbeda dan memiliki warna lokal ini dapat juga dikatakan sebagai suatu strategi meraih pasar internasional. Secara bentuk dan teknik, karya balet dari sekolah balet kini sudah dapat diterima dan memenuhi standar internasional. Namun, pertanyaan berikutnya yaitu bagaimana selain diterima tapi juga dapat bersaing di arena global. Perpaduan antara balet dan tari tradisional dapat dikatakan sebagai strategi agar dapat bersaing di arena global, karena akan memiliki ciri-warna lokal yang berbeda dengan balet pada umumnya. Suatu konsep modern yang kekinian dan mengusung keterbaruan, yang juga memadukan unsur-unsur lain seperti tradisi. Semacam gagasan di antara orientasi lokal dan internasional (global) (Supangkat, 1998). Masalah poskolonial atau adanya dominasi barat, kini sudah sangat bias. Bahkan kebudayaan nusantara pun berasal dari berbagai macam pengaruh kebudayaan luar. Tidak ada yang otentik saat ini. Otentisitas hanya bisa dinilai dari bagaimana kreativitas kita muncul, karena ide gagasan hanya dimiliki oleh tiap individu. Pengaruh bentuk, style atau genre hanyalah bekal atau modal kemampuan yang dimiliki untuk diolah kembali dalam ide-ide dan pemikiran sebagai proses penciptaan sebuah karya.
Penggabungan antara produk Barat dan lokal (Indonesia) merupakan suatu bentuk strategis agar dapat diterima oleh pasar dunia. Secara pemikiran, konsep dan prinsip karya (teknis), menggunakan ilmu barat yang memang dianggap lebih beradab, modern dan berkualitas. Namun, itu tidaklah cukup untuk dapat memiliki daya tarik di antara produk-produk seni dunia yang juga memiliki nilai dan kualitas yang sama. Perlu strategi tersendiri untuk dilihat dan memiliki identitas khas (keberbedaan), yaitu dengan menawarkan sentuhan yang eksotis. agar karya mudah dikenali, juga ‘berbeda’ dengan karya balet lainnya di arena global. Tawaran ini tentunya menjadi sangat strategis, menggunakan unsur kelokalan dalam karya-karya, bukan semata-mata murni untuk pelestarian budaya lokal, melainkan juga agar karyanya dapat ‘dilirik’ oleh masyarakat dunia, untuk kepentingannya secara ekonomi.
Jakarta April 2024,
Ardianti Permata Ayu