Tulisan ini dibuat berdasarkan pengamatan pada Pseudo-Entertainment, sebuah proyek penelitian artistik, digagas oleh Bandung Performing Arts Forum (BPAF)* yang dilaksanakan pada Januari-Maret 2025. Proyek yang melibatkan seniman, pegiat lintas bidang, pengamat, dan publik ini mencakup serangkaian lokakarya, residensi, dan juga presentasi karya. Mengangkat tajuk “Apa yang Tersisa dari Masa Depan”, secara mendasar Pseudo-Entertainment menyoal tentang Bandung sebagai ruang, baik secara spasial dan gagasan terkait Bandung yang awalnya dibangun sebagai leisure city.
Komite Tari-DKJ periode 2023-2026 juga turut aktif dalam proyek ini, seperti menghadiri lokakarya daring, hingga hadir secara fisik saat residensi, presentasi, dan diskusi di Bandung. Berbagai diskusi dilaksanakan secara intens dan konstruktif dengan para penggerak proyek dalam mempertimbangkan dan meninjau ulang konsep Pseudo-Entertainment: Apa yang Tersisa dari Masa Depan.
Tema Koreografi Sosial yang diangkat oleh Komite Tari sejak 2024 merupakan landasan berpikir dalam berbagai program, termasuk dalam meninjau Pseudo-Entertainment. Rumusan tema tersebut diusung oleh Saras Dewi, anggota Komite Tari, saat pembukaan program Artistic Development (Juni, 2024); menggagas ide bahwa koreografi yang lekat dengan tari merupakan sebuah perspektif, baik untuk (1) pengamatan terkait realitas sosial dan untuk (2) menggerakkan gagasan secara artistik.
Pembahasan dimulai pada Bandung, sebagai leisure city dan sekaligus korpus utama. Orientasi pada bentuk secara fisik geografis tersebut mengacu pada aspek kesejarahan. Bandung yang identik dengan istilah ‘Paris van Java’ sudah dijadikan destinasi wisata sejak era kolonial. Kemudian pada dekade awal kemerdekaan Indonesia, yaitu April 1955, Bandung dijadikan tempat Konferensi Asia Afrika. Pokok pikiran dekolonisasi diusung dan didiskusikan oleh berbagai negara dari benua Asia dan Afrika.
Bandung di era sekarang kemudian menjadi destinasi wisata dengan dibangunnya berbagai fasilitas pendukung yang mumpuni. Hal ini pun memantik pertanyaan kritis bahwa apakah pokok pikiran masa kolonial -dalam hal ini terkait leisure city– masih menjadi isu yang penting dan berelasi? Sementara pembangunan tersebut juga secara paralel memunculkan isu lingkungan, tata ruang, dan agraria yang saling beririsan satu sama lain.
Di antara segala hal yang berkelindan tersebut, warga lokal tidak luput dari perhatian karena merupakan pihak yang terdampak langsung dalam pusaran persoalan. Dengan memaknai pseudo sebagai sebuah emosi yang semu dan disandingkan dengan entertainment yang dimaknai sebagai hiburan, maka Bandung sebagai leisure city kemudian mempertanyakan sudut pandang tentang siapa yang terhibur dan siapa yang menghibur? Isu yang abstrak tersebut membuka sebuah wacana dari para peserta yang hadir di Pseudo-Entertainment.
Mengutip Taufik Darwis selaku direktur proyek dalam diskusi di hari terakhir presentasi, peserta proyek yang kebanyakan berdomisili di luar Bandung datang dengan perspektif pelancong. Sementara, dalam percakapan semasa residensi, Eka Putra Nggalu selaku kurator proyek menjelaskan bahwa para peserta dengan beragam latar belakang pengetahuan dipertemukan dengan realitas di lapangan untuk sebuah kontekstualisasi, sebuah proses memahami atau menafsirkan sesuatu dengan mempertimbangkan konteks atau latar belakang yang relevan. Konteks ini meliputi berbagai faktor semisal budaya, ekonomi, dan politik, yang dapat mempengaruhi makna dan interpretasi sesuatu, dalam hal ini Bandung sebagai ruang.
Tema kekaryaan terkait sejarah, budaya, regulasi, dan manusia-manusia yang lekat dengan korpus (masyarakat) dihasilkan atas dasar presentasi 7-9 Maret 2025. Laku kontekstualisasi juga dipandang penting dalam membangun kesadaran terhadap produksi kelokalan sebagai aspek wacana atau narasi utama, terutama ketika mengacu pada respons dan pemaknaan Bandung oleh masyarakatnya. Dengan latar belakang artistik yang dimilikinya, para peserta berperan untuk mengamplifikasi abstraksi yang telah diproduksi tersebut dan memberikan dimensi baru dalam memahami isu-isu lokal.
Beragam tema tersebut di atas membuka keterlibatan publik dan dimanifestasikan dengan format lokakarya dengan memberikan pengalaman dalam ruang melalui eksplorasi audio, permainan, percakapan, pertunjukan, dan pemanfaatan teknologi. Paduan antara tema, ide/gagasan dan format presentasi pun membuka kemungkinan diskursus tentang bagaimana kekaryaan berkontribusi dengan memantik umpan balik (feedback) pada Pseudo-Entertainment. Selain pola biner (sebagaimana masyarakat setempat memproduksi gagasan alternatif) terhadap dinamika ruang, gagasan alternatif juga muncul terutama terkait fokus dan masalah berdasarkan penelitian masing-masing seperti kawasan konservasi, pasar, kampung kota, kawasan bersejarah, hingga kawasan rekreasi.
Pseudo-Entertainment pun adalah sebuah penawaran yang membuka banyak kemungkinan baru dalam ranah berpikir, memaknai, dan memproduksi. Perspektif Koreografi Sosial yang melandasi penulisan ini juga dapat dikaji sebagai ekspresi pembuat karya atau gagasan masyarakat setempat sebagai sentralnya. Sementara diwaspadai turut mengemukanya konsep ‘lingkaran pseudo’ yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana upaya untuk menjauhkan diri dari sesuatu yang palsu atau tidak autentik justru malah menciptakan suatu siklus atau pola yang tetap tidak autentik. Dalam konteks kekaryaan, hal ini dapat terjadi bahkan ketika seseorang berusaha untuk menciptakan karya yang ideal dengan memilah dan menyusun apa yang dinilai baik. ‘Lingkaran pseudo’ ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keterbatasan pengetahuan atau pengalaman, pengaruh dari luar yang tidak relevan, keterikatan pada norma atau standar tertentu, atau kurangnya refleksi dan evaluasi diri. Dengan memahami dan mengatasi keterbatasan-keterbatasan ini, seseorang dapat menciptakan karya yang lebih autentik dan ideal.
Gagasan alternatif dari warga setempat atau peserta proyek dapat dianggap sebagai langkah (ke)sementara(an) dalam membangun kepastian yang lebih kokoh. Dalam konteks keartistikan yang berpijak pada lingkup sosial, pemaknaan ini membuka pembahasan tentang tendensi dan posisi yang idealnya dapat bertransmisi dengan baik. Dengan demikian, penting untuk memahami dinamika antara gagasan alternatif dan proses pembangunan kepastian dalam proyek.
Dengan menggunakan perspektif Koreografi Sosial, analisis tendensi dan posisi dapat membantu meningkatkan kewaspadaan dalam memahami dinamika sosial. Dalam konteks kekaryaan, penting untuk memastikan bahwa karya yang dihasilkan tidak hanya mencerminkan realitas lokal, tetapi juga membawa empati yang mendalam. Jika karya tersebut ingin mengamplifikasi narasi lokal secara alternatif, maka diperlukan kreativitas yang inovatif dan autentik, bukan sekadar mengulangi respons yang sudah ada. Pendekatan ini dapat membantu menciptakan karya yang lebih bermakna dan relevan bagi masyarakat setempat. Demikian koreografi dipandang lebih dari sekadar gerakan; ia adalah proses kreatif yang memadukan refleksi mendalam dan ekspresi artistik. Melalui pendekatan sistematis dan interaktif, laku koreografi memungkinkan penciptaan karya yang autentik dan inovatif, melampaui tiruan atau reproduksi semata.
Adapun BPAF melalui Pseudo-Entertainment membuka peluang bagi peserta proyek untuk melakukan refleksi mendalam melalui proses koreografis yang sistematis. Dengan lokakarya, riset, dan interaksi, peserta didorong untuk mengasah pemikiran kritis dan kreatif sebelum mempresentasikan karya mereka. Tujuannya adalah menciptakan karya yang autentik dan orisinal, bukan sekadar tiruan atau reproduksi. Dengan pendekatan ini, peserta dapat memahami karya mereka sebagai proses yang dinamis dan dapat terus berkembang.
*Catatan:
BPAF didirikan sejak 2016, mengangkat berbagai aspek terkait potensi seni pertunjukan dalam hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.