Mempertanyakan Identitas Ballet Indonesia (bagian II)
Proses untuk terus mempertanyakan dan menemukan balet bercitra Indonesia terus berlanjut dari Pekan Balet I/1982 ke Pekan Balet II/1983. Pada periode ini Farida yang masih menjabat Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dalam sambutannya mengatakan pola Pekan Balet ini masih sama dengan yang sebelumnya, dengan membagi jenis penampilan balet klasik dengan garapan balet dengan citra Indonesia. Ia agaknya semakin meyakini upaya perwujudan citra Indonesia akan muncul dalam balet:
“Meskipun konsep tentang citra balet Indonesia bagi peserta masih sangat kabur, namun ternyata tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk mengembangkan daya kreativitasnya. Seakan-akan ada keyakinan pada mereka bahwa melalui proses penggarapan terus-menerus, pada akhirnya pastilah balet bercitra Indonesia akan terwujud secara mantap.”
(Kompas, 2 Desember 1982)
Baik Farida, DKJ, atau IPPB Jakarta seakan menemukan satu ruang untuk mendukung perkembangan balet Indonesia melalui penyelenggaraan Pekan Balet. Pertimbangan menjadikan agenda setelah dibagi menjadi dua golongan peserta, Balet Pemula (Children’s Work) dan Balet Madya (Major Work). Pembagian golongan tersebut dipandang akan memudahkan Dewan Pengamat dalam menilai penampilan, dan yang lebih penting memudahkan dalam pembinaan bakat penari balet itu sendiri. Dalam Pekan Balet I/1983 penyelenggara hanya bisa memfasilitasi 10 grup balet (tujuh dari jakarta dan tiga dari luar Jakarta), ditambah pertunjukan dari dua grup balet luar negeri, Theatre du Silence dari Paris dan Tanz-Forum Kohl dari Jerman. Sepuluh grup peserta dalam agenda ini adalah: Galina (Malang), Dewi Rani (surabaya), Christine (Bandung), Cecilia (Jakarta), Sumber Cipta (Jakarta), Nritya Sundara (Jakarta), Namarina (Jakarta), Yenny Muliaty (Jakarta), Ratna Ballet School (Jakarta), dan Sekolah Balet Pluit (Jakarta).
Pada Pekan Balet II/1983 karya Farida melalui grup Sumber Cipta masih menjadi pembicaraan terkait keberhasilannya menghadirkan balet bercitra Indonesia. Karya yang berjudul Daun Pulus yang dipertunjukkan di Teater Tertutup TIM (26 November 1983) itu bahkan disebut oleh Franki Raden sebagai sebuah reformasi dalam estetika balet (“Daun Pulus, Reformasi Dalam Estetika Balet” oleh Franki Raden, Sinar Harapan, 1 Desember 1983). Beberapa elemen yang disorot Franki terkait musik, gerak, kostum, dekor serta tata cahaya yang disebut tidak naif dan tidak didramatisir. Ia bahkan membandingkan karya Farida dengan pertunjukan Theatre du Silence (Prancis) dalam nomor Carmina Burana yang dikatakan tidak luput dari kenaifan. Hal ini disebabkan banyak penggarapan gerak Brigitte Lefevre yang mencoba mengejar kecepatan berlalunya nada-nada musik dengan gerak tubuh para pemainnya. Bentuk kenaifan ini menurut Franki disadari dalam garapan Daun Pulus:
“Masalah ini rupanya disadari oleh dua orang seniman kita yang bernama Farida Feisol dan Slamet Abdul Sjukur. Karya mereka “Daun Pulus” yang dipentaskan dalam Pekan Balet tanggal 26 November 1983 kemarin ternyata mampu menyodorkan suatu pendekatan alternatif di dalam menggarap sebuah karya balet. Musik di dalam “Daun Pulus” tidak lagi mengalun terus menerus sampai karya berakhir, sebagaimana lazimnya musik-musik Balet. Sementara para penari tidak hanya berukuran dengan masalah gerak belaka. Musik “Daun Pulus” adalah musik mentah, dalam arti ia tidak merupakan suatu karya baku. Dengan demikian musik itu sendiri kelihatan menjadi efektif dan mampu mendukung ide-ide koreografi yang kerap kali muncul dengan kokoh dan elok.”
Dalam ulasannya Franki juga mengatakan bahwa dirinya belum pernah melihat karya Farida atau Slamet yang sedemikian menarik seperti Daun Pulus. Baik ketika Farida menari dalam Parentheses IV, maupun ketika Farida menggarap Gunung Agung Meletus. Daun Pulus, tulis Franki, agaknya mencatat jenjang baru dalam perjalanan Farida sebagai koreografer. Farida dipandang tidak segan-segan untuk memberi respon kepada materi tari tradisional. Dengan dasar penguasaan prinsip estetika balet, Farida membuat unsur tari topeng Betawi berubah menjadi unik. Pemanfaatan unsur literer juga dipandang oleh Franki menjadi semakin kaya dan mencuatkan suasana filmis yang sungguh elok. Garapan ini dipandang sudah jauh keluar dari konsep-konsep estetika balet yang konvensional.
Sal Murgiyanto menilai, beberapa grup dalam Pekan Balet I/1983 sudah siap untuk memasukkan unsur Indonesia ke dalam balet, di antaranya Sumber Cipta dengan Daun Pulus dan Dewi Rani dengan Calonang. Menurut Sal, grup balet Indonesia memang dihadapkan pada dua pilihan: bertahan pada yang klasik, atau menyesuaikan dengan tuntutan masa depan. Ia mengatakan bahwa di Eropa dan Amerika, balet klasik sungguhan merupakan tontonan prestise yang mahal: Opera Paris, Kirov, Royal Ballet, New York City Ballet, yang biayanya tak tertanggungkan oleh pemerintahan kotanya. Oleh karena itu, terang Sal, muncul banyak ballet company kecil, juga modern dance. Di Paris, Ballet Opera Paris mulai keluar dari gedung megah dan main di pinggiran kota Paris. Peristiwa yang kemudian melahirkan “Theatre du Silence” yang berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan penonton masyarakat yang baru (“Catatan dari Pekan Balet DKJ II/1983: Jangan Buatkan Rumah Kaca Baginya”, Sal Murgiyanto, Kompas, 13 Desember 1983). Terkait hal ini Sal mengatakan agar balet Indonesia turut menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakatnya yang baru:
“Belajar dari yang terjadi di tempat asal, balet di Indonesia tentu tak bisa tak acuh terhadap masyarakat dan lingkungannya. Ibarat tanaman, jangan dibuatkan rumah kaca baginya. Tetap biarkan berdialog dan menegur sapa dengan lingkungan masyarakatnya yang baru. Kecuali jika balet memang hendak dipelihara sebagai barang “asli” sementara di tempat asalnya sendiri sudah berubah wajah.”
Perihal memadukan unsur Indonesia dalam balet, terang Sal, memang tidak mudah. Dibutuhkan bukan saja pengalaman tetapi juga pemahaman dan kesediaan untuk terus mencari tanpa henti. Hal ini menurutnya sudah terlihat dari garapan Daun Pulus Farida Feisol (iringan Slamet Abdul Sjukur) yang diangkat dari Jaipongan, tanpa menjadi murah. Kompas mencatat pada saat diskusi melengkapi agenda Pekan Balet II/1983 (29 November 1983) memang cukup banyak terlontar pandangan bahwa “tidak gampang mencari Indonesia (dalam balet)” karena berbagai hambatan antara lain soal teknis dan wawasan. Tetapi pertunjukan Daun Pulus dianggap sudah memberikan jawaban sebagai hasil dari proses panjang ‘mengindonesiakan’ balet. Bukan hanya kostum yang diambil dari khasanah pakaian tari Sunda-Betawi dan gerak yang bersumber pada Jaipongan. Yang muncul dalam pertunjukan Daun Pulus dipandang memang tidak sepenuhnya lagi balet, tapi tetap balet (“Balet Itu pun bergoyang Jaipong”, Kompas, 30 November 1983).
Farida Feisol selaku koreografer yang sudah bertungkus lumus menghadirkan balet bercitra Indonesia pada saat diskusi tersebut mengatakan bahwa proses untuk menggabungkan sesuatu yang berbau Indonesia ke dalam balet memang sulit sekali (“Masalah-Masalah yang Dihadapi dalam Menata Tari”, Farida Feisol, makalah diskusi Pekan Balet II/1983). Sementara itu Nanny Lubis mengatakan bahwa memasukkan atau menggabungkan unsur seni Indonesia bukan berarti sekedar menempelkan (“Sistem Pendidikan Balet di Indonesia”, Nanny Lubis, makalah diskusi Pekan Balet II/1983). Ia lebih menekankan pentingnya untuk mempelajari teknik yang lebih baik bagi calon penari. Karena teknik jauh lebih mendasar daripada hanya sekedar ingin mencari sesuatu yang bernapaskan Indonesia. Nanny memandang citra Indonesia akan bisa dicapai bila dasar balet dari sebuah grup sudah kokoh.
Masalah teknik ini memang kemudian menjadi pokok persoalan ketika beberapa tokoh balet membicarakan citra atau nuansa Indonesia dalam balet. Yulianti Parani dalam diskusi tersebut mengatakan penguasaan teknik mutlak diperlukan (“Balet Bercitra Indonesia, Suatu Imbauan Kreativitas”, Yulianti Parani, makalah diskusi Pekan Balet II/1983). Pemahaman citra Indonesia dalam kesenian bukan merupakan suatu pengertian yang dipelajari secara harfiah. Ia mengatakan tari tradisional tidak bisa begitu saja dimasukkan ke dalam balet. Butuh bertahun-tahun mempelajari dan menghayati sebelum dituangkan dalam koreografi dengan unsur gerak, musik dan kostum yang bernuansa Indonesia.
Mengendurkan Wacana Balet Citra Indonesia
Penyelenggaraan Pekan Balet II/1983 agaknya terakhir membawa semangat citra Indonesia dalam balet. Pada penyelenggaraan berikutnya semangat untuk mencari, menemukan, atau meraih ke-Indonesia-an dalam balet mulai hilang. Efix Mulyadi dalam Kompas, 16 November 1987, mencatat bahkan pada penyelenggaraan Pekan Balet IV/1987 menunjukan wajah paling lesu selama enam tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena dari 10 grup peserta, hanya lima saja yang menyajikan “garapan tari” yang bisa menjadi ruang untuk menghadirkan balet bercitrakan Indonesia. Lima nomor tarian yang tampil itu pun, empat di antaranya dari dua kelompok tenar: Sumber Cipta dan Namarina (“Balet dalam Wajah Lesu”, Efix Mulyadi, Kompas, 16 November 1987).
Menurut Efix suasana Pekan Balet sudah berbeda. Jika pada Pekan Balet III/1985 sengaja mengendurkan keramaian tentang ke-Indonesia-an, pada penyelenggaraan Pekan Balet IV/1987 peserta tampak lesu darah. Jika dilihat perbandingan nomor tari pada Pekan Balet III/1985 dan Pekan Balet IV/1987 dari dua grup yang selalu menjadi jawara dalam garapan tari Pekan Balet, Sumber Cipta dan Namarina, memang tampak tak banyak lagi membawa semangat citra Indonesia dalam koreografinya.
Pada Pekan Balet III/1985 agaknya hanya Farida Feisol yang masih mengusung semangat tersebut dengan pertunjukan yang tidak terlalu mendapat porsi pembicaraan yang besar lagi. Melalui garapan tari kategori junior, Farida menghadirkan koreografi berjudul Tok, yang mengelaborasi kekuatan kain tenun Bali. Pertunjukan ini dianggap kurang bervariasi karena lebih banyak memperagakan kain tenunan Bali yang dipakai penari ketimbang memperagakan tari baletnya (“Persaingan balet Namarina dan Sumber Cipta”, Suara Karya, 19 November 1985).
Linda Hoemar, koreografer pendatang baru yang merupakan penari tenar dari Sumber Cipta, dan mewakili kelompok tersebut untuk kategori garapan baru malah mulai menghadirkan jazz melalui pertunjukannya berjudul Realita (“Pekan Balet II DKJ: Pemborosan Seorang Pemula”, Kompas, 28 November 1985). Begitu juga dengan grup Namarina pada Pekan Balet III/1985 agaknya sudah berangkat pada konsep lain. Maya Tamara yang menata tari untuk garapan tari junior menghadirkan Fantasia yang mengeksplorasi persoalan UFO, piring terbang, dan alien. Nanny Lubis, perwakilan Namarina untuk garapan tari senior menghadirkan Time, Space and Ability dengan iringan musik Michael Shrieve bersama Patrick Moraz, untuk memperlihatkan universalitas seni tari.
Pada Pekan Balet IV/1987 pertunjukan yang paling banyak diulas dan menjadi garapan terbaik dalam agenda tersebut adalah nomor tari berjudul Wor K’Bor. Pertunjukan ini digarap oleh Yanti Aranditio, perwakilan dari Sumber Cipta, sekaligus merupakan pengajar balet pada grup tersebut. Wor K’Bor dinilai memperlihatkan tata gerak yang bagus, ditunjang permainan cahaya yang manis, dan penguasaan ruang yang apik (“Wor K’Bor, tari Inisiasi dari Irian Jaya”, Suara Karya, 15 November 1987). Kekayaan suasana dalam pertunjukan ini dinilai menjadi nilai lebih dari pertunjukan lain pada agenda tersebut. Hal tersebut dilakukan bukan hanya lewat pengadeganan yang memang ditata dengan bagus, tapi keberanian membiarkan waktu berlalu tanpa musik (“Harapan pada Wor K’Bor”, Kompas, 17 November 1987). Akan tetapi meski tarian ini berangkat dari salah satu upacara tradisi di Biak, Papua, gerak jazz lebih banyak menjadi dasar dan melesapkan balet.
Selaku koreografer Yanti Aranditio mengakui garapan tari dengan sajian gerak penuh tenaga, lentur, dan cepat itu memang merupakan Afro-jazz. Gaya tari tersebut pernah dipelajarinya di luar negeri jauh dari balet dalam pengertian lama. Gerakannya serba menyimpang dari tatanan klasik dan musiknya juga bukan untuk jenis tari yang sopan-santun (“Yanti Aranditio, Koreografer Balet Terbaik: Pilih Jazz Demi Indonesia”, Kompas, 22 November 1987).
Agaknya pada penyelenggaraan Pekan Balet IV/1987, pembicaraan mengenai balet bercitra Indonesia sudah hambar sama sekali. Selain berlalunya waktu, bergantinya generasi koreografer dari grup-grup balet, pencarian baru terhadap tari kontemporer menuju sesuatu yang lain. Selain gaya jazz, sebagaimana digarap dua generasi grup Sumber Cipta, Linda Hoemar (melalui Realita, 1985) dan Yanti Aranditio (melalui Wor K’Bor, 1987). Maya Tamara sebagai penerus Nanny Lubis dari grup Namarina juga telah condong pada pertunjukan kontemporer bergaya Broadway. Hal ini diperlihatkan melalui berjudul Off Broadway (berangkat dari film A Chorus Line karya sutradara Richard Attenborough), kerjasama Taman Ismail Marzuki dan Akademi Tari Namarina di Gedung Graha Bhakti Budaya, 8-9 Juni 1986.
Berbagai usaha beriring keluh-susah penggarapan balet bercitra Indonesia, sepanjang waktu agaknya satu-persatu penata tari, koreografer, atau grup balet masih berupaya menjajakinya dengan model pencarian berbeda-beda. Meskipun pencarian tersebut tidak lagi diiringi dengan penyebutan balet citra Indonesia karena dianggap identitasnya terlalu kabur. Baik Farida Feisol selaku orang yang getol mengupayakan munculnya balet ala Indonesia, Yulianti Parani yang memulai lalu menemukan sesuatu yang lain, para penata tari/koreografer dan berbagai grup peserta Pekan Balet sudah berupaya menancapkan satu wacana penting dalam perjalanan balet di Indonesia: Sumber Cipta, Namarina, Tunas Jaya/Ratna Ballet School, Nritya Sundara/Kursus Balet IKJ/LPKJ, Dewi Ballet Studio, Narindra, Utarina, Cicilia, Christina, Grup Yenny Muliaty, Galina, Sekolah Ballet Pluit, Sanggar Tari Ballerina, Wisma Nartaki, dll; beserta dengan para penari mereka setidaknya sudah berupaya menunjukkan bahwa ballet bercitra Indonesia itu ada.
Catatan: Tulisan ini sepenuhnya telah mengubah kata “ballet” menjadi “balet”, baik dari tulisan dari sumber arsip, judul acara, dan nama grup.