“Sebagai orang Indonesia, setelah tiga tahun belajar balet, kamu harus belajar tari tradisional Indonesia. Karena badan kita badan Indonesia, kita nggak punya badan balerina, kaki panjang balerina. Jadi kalau cuma balet saja kita nggak akan bisa jauh. Apalagi kita di Indonesia, harus belajar tari Indonesia.”
(Farida Oetoyo, diceritakan oleh Ditta Miranda dalam Pointe to Remember, 2019)
Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian tulisan dalam penelisikan tari balet yang bercitrakan Indonesia. Wacana Balet Indonesia ini awal mulanya muncul saat saya bersama Dr. Yola Yulfianti melakukan penelitian enam tahun yang lalu, terkait identitas Indonesia dalam tari Balet yang dilakukan oleh salah satu sekolah balet di Indonesia. Penelitian ini kemudian berkembang menjadi diskusi dan beberapa serangkaian penelitian ‘tumbuh kembang’ balet di Indonesia oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Dalam perjalanannya, wacana balet bercitra Indonesia memiliki makna yang beragam sesuai dengan konteks zaman. Hal ini menjadi menarik untuk ditelaah, karena kita dapat melihat bagaimana dinamika perkembangan balet di Indonesia secara kesejarahan dan kontekstual, dan bagaimana tawaran konsep “Balet Indonesia” juga mengalami perkembangan dan pergeseran makna. Antara Balet Indonesia yang ditawarkan dan digarap oleh para tokoh balet pada periode 1960-1980-an, dengan Balet Indonesia yang kini dikembangkan oleh sekolah-sekolah balet di Indonesia dalam menghadapi kompetisi internasional.
Tidak hanya itu, tulisan ini juga mencoba memperlihatkan bagaimana para tokoh balet Indonesia dan sekolah balet berperan dalam mempengaruhi perkembangan seni tari dan koreografi di Indonesia, serta mengubah status sosial pertunjukan balet yang awalnya hanya dapat dinikmati dan ditarikan oleh masyarakat kalangan atas, kini dapat dinikmati dan ditarikan oleh kalangan yang lebih luas.
Kehadiran Balet dan Status Sosialnya di Indonesia
Jika bicara tentang Balet Indonesia, maka pembicaraannya juga tidak bisa lepas dari sejarah bagaimana balet muncul di Nusantara serta perkembangannya hingga saat ini. Saat pertama kali kehadirannya muncul di Nusantara, Balet merupakan tari yang hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas. Hal ini tidak lepas dari status balet di Eropa kala itu, yakni merupakan tari yang memang berkembang dan muncul dari kalangan bangsawan Perancis pada masa pemerintahan Raja Louis XIV pada 1661. Kala itu Raja Louis XIV mendirikan Academie Royale de Danse. Lalu bersama Jean Baptiste Lully (catatan 1), seorang seniman kerajaan yang telah mendalami balet opera, mengubahnya menjadi Academie Royale de Musique, yakni sekolah untuk mendidik penari balet profesional yang luarannya menampilkan karya opera masterpiece. Sekolah ini menggabungkan antara balet dengan komposisi musik dengan format opera di kerajaan. Sekolah tari balet ini memiliki sistem pendidikan berdasarkan tata krama bangsawan. Oleh karenanya, balet menjadi tarian yang sangat eksklusif.
Saat hadir di Nusantara, balet dibawa oleh Anna Pavlova ke Hindia Belanda (Batavia) tanggal 21 Februari 1929, dan melakukan pertunjukan pada tanggal 8 Maret 1929 (catatan 2). Balet pun masih menjadi tari yang hanya dapat dinikmati oleh beberapa kalangan—sebutlah masyarakat kolonial, kalangan aristokrasi, para elite, dan masyarakat keturunan Tionghoa. Membuat balet menjadi tarian yang memiliki status sosial kelas atas. Selanjutnya, balet dikembangkan di Indonesia oleh Puck Meijer, orang Belanda yang bermukim di Indonesia, yang mendirikan sekolah balet di awal abad ke-20. Ia mengajarkan balet kepada para penari balet yang kemudian menjadi maestro balet di Indonesia, antara lain Farida Oetoyo, Nanny Lubis, James Danandjaja, Elsie Tjiok, dan Julianti Parani. Sementara di Surabaya, Marlupi Sijangga belajar kepada Mevrouw Zaller (Herliany, 2001). Merekalah yang kemudian meneruskan dan merintis balet di Indonesia, yang tentunya turut mempengaruhi perkembangan tari dan koreografi di Indonesia, juga mempengaruhi status sosial balet di Indonesia.
Pasca kemerdekaan, yaitu tahun 1959-1961, muncul Dance Company Ballet Nasional atau Little Ballet Group yang didirikan oleh Farida Oetoyo, Julianti Parani, Wim Roemers, Louis Pandelaki, Leska Ong, dan James Danandjaja (nama-nama tersebut merupakan para maestro balet di Indonesia). Grup balet ini berperan besar dalam melahirkan generasi penerus tari balet di Indonesia, karena menjadikan balet dapat dipelajari dan dinikmati di kalangan yang lebih luas. Little Ballet Group sempat memiliki gagasan tentang Balet Nasional yang diarahkan untuk mengadakan pertunjukan teratur seperti di Eropa (membentuk sebuah professional ballet company). Sayangnya gagasan ini tidak berjalan sesuai rencana. Pertunjukan teratur yang direncanakan hanya sempat satu kali saja yang sukses terselenggara, dan setelah itu tidak ada pertunjukan. Walau begitu, peran para maestro balet di atas — Little Ballet Group sebagai perintis balet di Indonesia — cukup signifikan dalam memosisikan balet di Indonesia, melalui sekolah balet yang banyak didirikan dan pementasan balet yang sering diselenggarakan.
Beberapa pementasan karya Farida Oetoyo dan Julianti Parani yang telah diselenggarakan, turut mengikut sertakan para penari dari berbagai kalangan tanpa memandang kelas. Bahkan banyak pengakuan para penari yang menyatakan telah banyak dibantu secara ekonomi oleh Farida semasa menjadi muridnya. Sebagaimana cerita dari Sentot Sudiharto yang kini sudah menjadi salah seorang maestro tari, perkenalannya dengan tari balet diawali saat ia masih menjadi petugas kebersihan panggung Taman Ismail Marzuki yang masih sangat sederhana, belum semegah seperti saat ini. Saat itu, salah seorang penari mengalami cidera (kaki patah) mendadak ketika pementasan hanya tinggal kurang dari dua hari saja. Farida Oetoyo dan Julianti Parani panik hingga tiba-tiba Julianti mengusulkan Sentot untuk menggantikan penari yang kakinya patah.
Awalnya Farida meragukan, namun Julianti meyakinkannya saat mengatakan bahwa ia pernah melihat petugas kebersihan tersebut (Sentot) menari. Memang benar Sentot sebelumnya pernah menari, bahkan sejak kecil telah menari di Istana Negara, dan hal ini tidak ada yang mengetahuinya. Benar seperti yang dikatakan Julianti, bahwa Sentot bisa menari, karena hanya dalam satu kali sesi latihan saja Sentot dapat menguasai bagian dari gerakan tari yang harus ia bawakan. Sejak itulah Sentot mengenal tari balet. Tubuh Sentot yang sudah menyimpan memori tari tradisional tentunya memperkaya tubuhnya ketika balet juga turut menjadi memori yang baru (catatan dari Renny Turangga dan Iwan Setiawan dalam Pointe to Remember, 2019).
Selain Sentot, ada Jecko Siompo, penari dan koreografer kelahiran Papua yang karya-karyanya telah banyak dipentaskan di berbagai festival baik dalam dan luar negeri. Jecko bercerita dalam buku Pointe to Remember (2019) bahwa ia mengenal balet ketika kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Saat itu ia mendapatkan tawaran sebagai penari dalam karya koreografi Yudistira Sjuman, anak Farida Oetoyo. Saat itu Jecko masih kesulitan dalam ekonominya, namun ia tetap semangat datang latihan walaupun terkadang kehabisan untuk ongkos. Kedua cerita di atas membuktikan bagaimana balet bukan lagi tari eksklusif yang hanya diperuntukan bagi kalangan kelas atas saja (catatan dari Renny Turangga dan Iwan Setiawan dalam Pointe to Remember, 2019).
Peran Dewan Kesenian Jakarta sebagai lembaga yang menyelenggarakan beberapa pementasan balet dan penyelenggaraan festival (Pekan Balet) untuk semua kalangan (umum) juga dapat diperhitungkan dalam memosisikan status sosial balet di Indonesia. Balet pun menjadi dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Termasuk juga konsep Balet Indonesia yang diusung dalam pementasannya, membuat para penonton menjadi ‘tidak asing’ (baca: memiliki relasi) dalam menikmati pementasan balet.
“Dalam balet tidak ada kemewahan. Yang ada disiplin dan kerja keras”,
(Farida Feisol, diceritakan oleh Sunny Pranata dalam Pointe to Remember, 2019).
Pernyataan Farida Oetoyo di atas telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap balet. Tidak hanya dalam pernyataan saja, Farida memang berniat mengubah cara pandang masyarakat terhadap balet dengan berbagai hal, antara lain membuka kelas balet bagi semua kalangan, mementaskan balet untuk dipertontonkan bagi semua kalangan, serta memberikan perspektif baru melalui konsep balet bercitra Indonesia.
Farida juga telah mengungkapkan bagaimana folklor, tarian rakyat, bisa diperkaya dengan balet dan dengan cara itu tari tradisi akan mendapat ‘warna’. Melalui itu juga, balet dapat diminati oleh semua golongan serta tidak hanya dapat ditonton oleh golongan tertentu saja. Menurutnya, usahanya dalam memberikan ‘warna’ tari tradisional juga memberikan efek positif lain yaitu balet dapat dinikmati semua golongan (“Farida Sjuman: Berusaha warnai tari tradisional dengan gerak balet”, Pedoman, 15 Juni 1973).
Antara Tari dan Tubuh yang Beradaptasi (bagian I)
Perkembangan tari balet di Indonesia tidak lepas dari pengalaman dan pendidikan yang dilakukan oleh para perintis balet di Indonesia. Terutama pengalaman Farida Oetoyo yang mengenyam pendidikan tari balet di Australia, Singapura, Belanda, dan Moskow. Juga pengalamannya belajar tari modern kontemporer di New York. Pengalaman Farida di New York ini memberikan pengaruh cukup besar terhadap tari balet di Indonesia. Farida selalu berpikir bahwa anatomi tubuh perempuan Asia berbeda dengan perempuan Eropa. Hal tersebut mempengaruhi gerakan balet secara teknis juga hasil tampilan visualnya. Ini merupakan salah satu yang mendasari pemikiran Farida untuk menggabungkan tari tradisional Indonesia dengan tari balet pada tahun 1979-1983.
Farida bersama Julianti Parani pun melakukan riset dan belajar tari tradisional Indonesia dari para maestro tari tradisi. Hal ini mereka lakukan untuk mendapatkan ‘rasa’ atau ‘ruh’ yang akan diserap oleh tubuh. Memori ketubuhan menjadi penting di sini. Koreografi yang sukses tidak hanya tentang persoalan komposisi gerak saja, melainkan juga tentang ketubuhan, dan memori pengalaman tubuh menjadi penting. Diskusi, latihan, dan pencarian pun dilakukan dengan dukungan lingkungan LPKJ Taman Ismail Marzuki kala itu. Lingkungan para seniman dari pelbagai bidang seni dengan berbagai macam pikiran telah memantik ide-ide kreatif untuk menciptakan karya besar (Julianti Parani, wawancara 24 April 2021).
Farida dan Julianti kala itu memiliki kesamaan dalam pemikiran, bahwa antara tari balet dan tari tradisional memiliki keindahan kedudukan yang setara dalam arena tari di Indonesia. Kecintaan Farida dan Julianti pada Indonesia juga membuat mereka memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Selain itu menurut Farida, perempuan Asia memiliki karakter dan anatomi tubuh yang berbeda dengan perempuan Eropa, sehingga balet harus disesuaikan (beradaptasi terhadap tubuh) dan dapat saling melengkapi. Perbedaan anatomi tubuh penari Indonesia bukanlah kelemahan — melainkan merupakan salah satu potensi dan karakter yang memberikan warna pada gerakan balet. Secara teknis, balet yang menekankan kekuatan fisik dan tampilan visual, dianggap penting untuk dimiliki oleh setiap penari sebagai dasar gerak dan kekuatan dalam olah tubuhnya. Sedangkan tari tradisional merupakan kekayaan warisan nusantara yang perlu dilestarikan dan harus dikenalkan ke masyarakat agar tidak hilang.
Sulit tentunya menyatukan keduanya, karena keduanya memiliki dasar gerak yang berbeda. Dasar gerak pada balet menekankan kesempurnaan visual garis tubuh dan cenderung melawan gravitasi. Bentuk dari gerakannya hanyalah keindahan visual semata tanpa makna simbolik yang bersifat spiritual. Berbeda dengan tari tradisional yang gerakannya muncul dari dalam diri dan penuh makna simbolik yang bersifat spiritual. Bertolak belakang dengan balet yang gerakannya melawan gravitasi, tari tradisional malah cenderung merunduk dan mengarah ke bawah mengikuti gaya gravitasi bumi, serta memiliki ‘rasa’. Konsep filosofi pada kosmologi Timur yang dimiliki tari tradisional Nusantara (Indonesia) menyebabkan tiap gerakan sarat akan makna. Perbedaan ini yang membuat balet dan tari tradisional sulit untuk disatukan dalam pemilihan gerakan-gerakannya. Oleh karenanya, tari tradisional yang telah menyatu dengan balet tentunya akan mengalami pergeseran makna, dari sakral menjadi profan.
(Bersambung)
Daftar catatan:
Catatan 1: Seorang seniman kelahiran Italia (awalnya bernama Giovanni Battista Lully) yang hampir separuh hidupnya bekerja untuk Raja Louis XIV di Versailles Palace. Ia adalah pemusik yang juga bisa menari. Selanjutnya ia dinobatkan menjadi komposer istana dan dikenal sebagai komposer yang mengusung French Baroque Style.
Catatan 2: Dalam pertunjukan yang diadakan di Princesse Schouwburg Weltevreden (kini disebut Gedung Kesenian Jakarta), Anna Pavlova membawakan repertoar “The Magic Flute, Snowflakes” and “Divertissements”. Setelah pementasan di Gedung Kesenian, Anna Pavlova melanjutkan kunjungannya ke Bandung, Semarang, dan Surabaya. Selain itu, disebutkan juga oleh Potter (2010) pada tahun 1934, grup balet Dandré-Levitoff Russian Ballet juga berkunjung ke Hindia Belanda dan melakukan pertunjukan di empat kota besar yaitu Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, lalu melanjutkan perjalanannya ke Australia. Grup balet ini membawakan Swan Lake yang menjadi sensasi di Surabaya, dan juga Les sylphides, La fille mal gardée and Polovtsian dances.
Berita ini ditulis oleh koresponden koran The Singapore Free Press and Mercantile Advertiser (1884-1942) pada 22 February 1929, p.16, dikutip 14 Mei 2018.