Sambang Setangga merupakan perjalanan artistik yang menggali makna di balik fisikalitas. Ia memanfaatkan ruang sebagai medium untuk menjembatani dua realitas yang mungkin terasa berjauhan, yang terancam dan yang sedang hidup (merayakan): Kampung Kota Dago Elos dan Kalipasir. Lebih dari sekadar titik-titik di peta, Sambang Setangga menjadi penanda, pertemuan antara dua komunitas, sebuah metafora perjalanan yang menyingkap lapisan-lapisan kompleksitas kehidupan kampung kota. Sedangkan Kalipasir, tidak hanya sekadar sebuah lokasi geografis, melainkan titik pertemuan antara dua dunia yang, meskipun berbeda konteks, memiliki banyak kesamaan. Sebagai titik singgah Sambang Setangga, Kalipasir menjadi ruang bagi koreografi sosial kota yang terdiri dari gerakan pertukaran ide, budaya, dan pengalaman antara dua komunitas yang dibayangkan saling bersimpati terhadap permasalahan kampung kota.
Koreografi sosial kota menggambarkan kompleksitas gerakan, interaksi, dan pola-pola kehidupan yang terjadi dalam ruang urban. Kota adalah panggung di mana berbagai aktor—mulai dari individu hingga kelompok sosial—berinteraksi, saling mempengaruhi, dan menciptakan narasi bersama. Sebagaimana sebuah koreografi tari yang terdiri dari gerakan-gerakan yang terkoordinasi, kota juga memiliki dinamika yang kompleks sekaligus teratur. Namun, koreografi kota tidaklah statis; ia terus berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perkembangan ekonomi, politik, teknologi, dan sosial budaya. Koreografi sosial kota mencakup beragam aspek kehidupan, termasuk distribusi spasial ruang dan sumber daya, pola mobilitas penduduk, serta dinamika interaksi antar individu dan kelompok.
Dalam perspektif ini, Kampung Kota merupakan manifestasi dari produksi ruang yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Sebagai gerak dari produksi ruang, Kampung Kota menjadi titik fokus dalam pemahaman koreografi sosial kota. Di sini, aktivitas sehari-hari seperti membangun rumah, berdagang di pasar lokal, atau berkumpul di ruang terbuka menjadi bagian dari narasi ruang yang diproduksi secara kolektif oleh warga kota. Melalui interaksi sehari-hari ini, Kampung Kota tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga menciptakan identitas dan makna yang melekat pada keseharian penduduknya. Dengan demikian, Kampung Kota bukan hanya sekadar ‘tempat’, tetapi juga sebuah proses dinamis di mana ruang dan sosialitas saling membentuk satu sama lain, menciptakan koreografi sosial yang unik dan kompleks.
Pada dasar prinsipnya, Sambang Setangga ingin memberikan kontribusi terhadap trayektori inisiatif seni yang mencoba membaca dan menarik hubungan antara ‘kota’ dan ‘seni’. Khususnya dalam konteks bagaimana memosisikan seni sebagai bagian dari konsep dan praktik kewargaan di dalam dinamika sosio-spasial atau ketidakadilan spasial di lingkungan kota.
Optimisme serampangan
Proyek Sambang Setangga: Kalipasir merupakan inisiatif yang sangat menarik dan relevan, terutama dalam konteks menggali praktik kewargaan dan performativitas kota. Dengan menggabungkan dua proyek terusan yang fokusnya pada isu-isu ruang hidup warga kampung kota di Bandung, proyek ini mencoba merangkul kompleksitas dalam dinamika kehidupan kota dan menghadapinya melalui lensa seni dan kewargaan.
Dalam proyek Sambang Setangga, kehadiran konsep koreografi sosial melalui lensa teori dan praktik seni tari menjadi kebutuhan. Salah satu pendekatan yang diambil adalah melalui pandangan Andrew Hewitt yang memperlakukan tarian sebagai arena untuk menggali ide-ide politik dan sosial. Proyek ini juga merujuk pada pandangan William Forsythe yang mendefinisikan koreografi sebagai pengorganisasian tubuh dalam ruang atau dengan tubuh lain dalam lingkungan yang terorganisir. Pendekatan ini melihat koreografi sosial sebagai suatu objek dan alat analisis yang mencoba menerapkan tatanan estetika langsung ke dalam tingkat tubuh dan gerakan sehari-hari. Dan terakhir perlu juga, untuk membaca ulang kebutuhan untuk melihat semesta konsep drama sosial oleh Victor Turner, yang memperluas gagasan koreografi sosial dengan mempertimbangkan momen-momen kritis di mana tatanan sosial terganggu dan terbuka untuk perubahan. Ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana tatanan sosial bisa dilanggar dan diubah melalui koreografi sosial.
Analisis koreografi kota sebagai serangkaian gerakan politik yang melibatkan akses terhadap berbagai aspek kehidupan sehari-hari membuka ruang untuk pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana kota dan komunitasnya saling berinteraksi. Menggunakan ruang pertemuan sebagai tempat untuk memfasilitasi dialog antara berbagai pihak, termasuk warga kampung kota dan komunitas seni, adalah langkah yang cerdas untuk menciptakan platform terbuka untuk pertukaran gagasan dan pengalaman. Pendekatan ini juga membawa pemahaman yang lebih luas tentang tantangan infrastruktur di kota-kota metropolitan di Asia dan Afrika, dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga. Secara keseluruhan, proyek ini tampaknya merupakan upaya yang berani dan bermakna untuk merangkul kompleksitas kehidupan kota dan menghadapinya melalui lensa seni dan kewargaan. Proyek ini memiliki potensi besar untuk menghasilkan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika kota dan mendorong tindakan kolektif yang berarti.
Praktik kewargaan menjadi titik sentral dalam proyek Sambang Setangga, di mana warga kampung kota diundang untuk merenungkan, menggali, dan memperkuat praktik-praktik kewargaan yang ada dalam komunitas mereka. Melalui serangkaian pertemuan, diskusi, dan kegiatan kolaboratif, proyek ini memungkinkan para pesertanya untuk menjelajahi berbagai aspek praktik kewargaan, termasuk cara-cara mereka berinteraksi satu sama lain, berbagi sumber daya, dan berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Dengan memperkuat praktik-praktik kewargaan ini, proyek Sambang Setangga bertujuan untuk membangun solidaritas dan saling ketergantungan di antara warga kampung kota, sehingga mendorong terciptanya komunitas yang lebih kuat dan berkelanjutan. Selain itu, proyek ini juga menciptakan ruang bagi para peserta untuk memikirkan ulang arti dan nilai-nilai kewargaan dalam konteks perubahan sosial dan urbanisasi yang terus-menerus, serta untuk merancang strategi-strategi baru untuk memperkuat keterlibatan warga dalam pembangunan kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Titik tekan lain adalah terkait performativitas kewargaan yang dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk kegiatan sehari-hari seperti memasak bersama, menghidangkan makanan, dan berbicara di hadapan publik. Dalam konteks proyek Sambang Setangga, performativitas melibatkan tidak hanya tindakan-tindakan fisik seperti memasak dan menyajikan hidangan bersama-sama, tetapi juga tindakan komunikasi dan presentasi di podium konferensi. Aktivitas memasak bersama-sama tidak hanya menjadi cara untuk berbagi keterampilan dan pengalaman, tetapi juga untuk membangun hubungan sosial dan solidaritas di antara warga kampung kota. Selain itu, performativitas juga hadir dalam momen di mana para peserta berbicara di hadapan publik, berbagi cerita, gagasan, dan pengalaman mereka dengan cara yang menginspirasi dan memotivasi orang lain. Melalui performativitas ini, para peserta dapat membangun identitas kolektif, memperkuat solidaritas, dan merangsang refleksi dan dialog yang mendalam tentang isu-isu kampung kota. Dengan demikian, memasak bersama, masakan, dan podium konferensi bukan hanya merupakan tindakan praktis atau formal, tetapi juga ekspresi dari performativitas yang mendalam dan bermakna dalam konteks pembangunan komunitas dan transformasi sosial.
Masa depan kampung kota menjadi fokus utama dalam proyek Sambang Setangga, karena proyek ini bertujuan untuk merenungkan dan membayangkan bagaimana kampung kota dapat berkembang dan beradaptasi di tengah-tengah perubahan yang cepat dalam konteks perkotaan. Dengan adanya ancaman penggusuran dan perubahan sosial-ekonomi yang terjadi di kampung kota, penting untuk memikirkan masa depan yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi semua warga. Proyek ini tidak hanya berusaha untuk menjaga keberlanjutan fisik dan lingkungan kampung kota, tetapi juga untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya yang ada di dalamnya. Melalui dialog, kolaborasi, dan refleksi, peserta proyek berupaya untuk menciptakan visi bersama tentang bagaimana kampung kota dapat menjadi tempat yang ramah, beragam, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Dengan demikian, proyek ini tidak hanya membahas masalah-masalah saat ini, tetapi juga mengajak untuk merenungkan dan merancang masa depan yang lebih baik bagi kampung kota dan komunitasnya.
Pesimisme Serabutan
Proyek Sambang Setangga: Kalipasir, meskipun memiliki aspirasi yang mulia, juga berpotensi untuk menghadapi tantangan serius terkait kontras pengalaman di antara para peserta. Penggabungan dua proyek terusan yang fokus pada isu-isu ruang hidup warga kampung kota di Bandung bisa menjadi latar belakang bagi konflik internal, terutama ketika menghadapi perbedaan pandangan atau kepentingan antara para pelaksana. Pada satu sisi, ada warga kampung kota yang menghadapi ancaman penggusuran dan ketidakpastian atas masa depan tempat tinggal mereka. Bagi mereka, proyek ini mungkin memicu trauma atau kecemasan yang lebih dalam terkait keberlangsungan hidup mereka dan hak atas tempat tinggal yang layak. Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa ada peserta dalam proyek yang mungkin tidak merasakan langsung dampak dari ancaman penggusuran. Bagi mereka, kampung kota mungkin dianggap sebagai tempat yang nyaman atau bahkan menjadi objek ilusi kesejahteraan hidup sehari-hari. Pengalaman yang berbeda ini dapat menciptakan ketegangan di antara peserta proyek. Bagi yang terancam penggusuran, proyek ini mungkin dianggap sebagai ajang untuk mengadvokasi hak mereka dan mengekspresikan kecemasan mereka. Namun, bagi mereka yang tidak langsung terkena dampak, proyek ini mungkin dianggap sebagai perayaan komunitas atau kesempatan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial tanpa perasaan urgensi atau kecemasan yang sama.
Dalam konteks koreografi sosial, kontras pengalaman seperti ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam partisipasi dan representasi, serta meningkatkan risiko konflik atau ketidaksepakatan di antara peserta. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana proyek ini mampu mengakomodasi keberagaman pengalaman dan perspektif, serta memastikan bahwa suara-suara yang paling rentan atau terpinggirkan tetap didengar dan dihormati.
Proyek Sambang Setangga: Kalipasir, dalam usahanya untuk menjadi platform partisipatif, juga rentan terhadap elitisme seniman dan privilese yang mungkin hadir dalam konteks seni partisipatif. Meskipun ada upaya untuk menggandeng warga kampung kota dan komunitas seni sebagai mitra dalam proyek ini, tidak dapat diabaikan bahwa adanya kesenjangan kekuasaan dan akses terhadap sumber daya antara seniman dan peserta.
Para seniman atau kreator proyek mungkin membawa dengan mereka seperangkat pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya yang tidak dimiliki oleh peserta. Hal ini dapat menciptakan dinamika yang tidak seimbang dalam partisipasi dan kontribusi dalam proyek. Seniman mungkin memiliki kendali lebih besar atas narasi atau arah proyek, sementara peserta mungkin merasa terpinggirkan atau kurang memiliki kekuatan untuk membentuk pengalaman mereka sendiri. Dalam konteks koreografi sosial, elitisme ini dapat menyulitkan tercapainya kesetaraan dan kerjasama yang sejati antara semua pihak yang terlibat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh proyek ini benar-benar mampu menggabungkan dan menghormati beragam perspektif dan pengalaman, serta sejauh mana para seniman dapat melepaskan kontrol dan memberikan kekuatan kepada peserta untuk menjadi agen perubahan dalam proses kreatif.
Terlebih lagi, kinerja partisipatif seringkali dipromosikan sebagai inklusif, namun pada kenyataannya dapat menjadi elitis. Klaim-klaim akan inklusivitas seringkali bertentangan dengan realitas di lapangan. Meskipun proyek-proyek ini mengklaim menyediakan ruang bagi partisipasi dari semua pihak, dalam prakteknya, selalu ada sesuatu yang memisahkan pencipta dari penonton, menciptakan tingkatan kesadaran yang menempatkan pencipta di atas penonton. Moderasi proyek-partisipatif, seperti yang sering terlihat, dapat menjadi kendala lebih lanjut dalam menciptakan ruang yang sebenarnya inklusif dan demokratis. Moderasi sering kali dilakukan oleh elit seni atau intelektual yang mungkin tidak sepenuhnya memahami atau mewakili pengalaman sehari-hari peserta. Hal ini dapat menghasilkan interpretasi yang terbatas atau sesat dari realitas yang dialami oleh peserta, serta membatasi ruang bagi ekspresi dan representasi yang otentik.
Kehawatiran semakin muncul saat kita menyadari bahwa meskipun pendekatan koreografi sosial seperti yang diusulkan oleh Hewitt, menjanjikan integrasi antara dimensi linguistik-semiotik dan dimensi pengalaman-afektif-jasmani, dalam praktiknya, ada kesenjangan yang dalam antara konsep dan realitasnya. Gagasan bahwa gerakan itu sendiri menciptakan, melakukan, dan melatih makna, sementara menarik, tampaknya bertentangan dengan kendala-kendala kontekstual dan kerangka pertunjukan yang membatasi ekspresi dan kreativitas. Dalam proyek Sambang Setangga, potensi imajinatif dan artistik terlihat terkekang oleh struktur dan norma-norma yang telah ada, yang kadang-kadang bahkan mengutamakan aspek kognitif dibandingkan dengan pengalaman afektif-jasmani.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa koreografi sosial, saat diadopsi sebagai strategi artistik, dapat membatasi kreativitas dan imajinasi menjadi tingkat yang sangat sadar. Ini menciptakan situasi di mana proses kreatif terperangkap dalam peraturan dan formula, mengesampingkan potensi afektif-jasmani yang bisa membawa perubahan yang lebih radikal dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan potensi koreografi sosial menjadi terkekang dan mereduksi negosiasi antara dimensi linguistik-semiotik dan dimensi pengalaman-jasmani-afektif, yang sebenarnya merupakan inti dari argumen Hewitt. Dalam konteks ini, proyek Sambang Setangga mungkin menemukan dirinya terjebak dalam paradoks antara potensi revolusioner koreografi sosial dan kendala praktisnya yang mungkin membatasi kemungkinan-kemungkinan perubahan sosial yang sebenarnya.
Menakar yang Serampangan dan yang Serabutan
Aspirasi koreografi sosial untuk menciptakan inklusi bagi seluruh anggota masyarakat melalui pertunjukan masih sangat berharga. proyek ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan ruang pertemuan yang inklusif bagi berbagai pihak dalam masyarakat, baik itu warga kampung kota, seniman, maupun pihak-pihak terlibat lainnya. Melalui berbagai kegiatan seperti forum diskusi, masak-memasak bersama, dan pertemuan warga, proyek ini menciptakan “pertunjukan” sosial di mana berbagai norma dan nilai-nilai masyarakat dapat terungkap dan dieksplorasi. Dengan menghapus peran penonton dan mendorong partisipasi aktif, proyek ini menciptakan pengalaman bersama yang dapat dijadikan landasan untuk pemahaman atas peran/pemosisian diri di dalam realitas sosial.
Namun, ada kekhawatiran bahwa idealisme semacam itu mungkin terlalu naif, mengingat bahwa perubahan sosial tidak dapat dicapai melalui satu pertunjukan saja. Koreografi sosial, seperti gerakan sosial yang telah terjadi sebelumnya, berkembang secara perlahan dan tidak terkendali. Potensinya terletak pada perjalanan panjang dari waktu ke waktu, yang mungkin tidak langsung terlihat secara manifest.
Tapi kita juga perlu terus membaca dan mengatasi ulang kemampuan proyek-proyek seperti Sambang untuk mengatasi keretakan antara elit teoretis dan praktisi serta penonton. Bagaimana kita membuka ‘ekslusivitas’ dari ‘sesuatu’ – satu informasi, satu ‘lapisan kesadaran’- yang memisahkan pencipta dari penonton, menempatkan yang pertama satu langkah ‘lebih tinggi’ dari yang terakhir?
Koreografi sosial juga sering kali dipandang ambigu dan tidak jelas dalam tujuannya, sering kali dianggap tidak koheren dan tidak memiliki ideologi politik yang jelas, hanya mengganggu prosedur normatif tanpa menawarkan alternatif yang jelas. Namun, menurut Andrew Hewitt, koreografi sosial mungkin memiliki dampak yang tidak langsung terlihat, dan keterangannya mungkin hanya muncul retrospektif saat terjadi krisis atau perubahan besar atau momen transformatif dalam masyarakat.
Kapankah perubahan itu akan terjadi?