Pengantar
Berita tentang “Mengangkat Tayub dengan Kartu Induk” diangka kembali oleh Telisik Arsip untuk melihat jejak politik tubuh di masa Orde Baru. Politik tubuh melalui seni tari, adalah sebagian dari biopolitik semasa Orde Baru yang diterapkan untuk menegaskan aturan-aturan tertentu. Dalam pengaturan tentang Tayub misalnya, sangat terhubung dengan disesuaikannya tarian rakyat agar senapas dengan cita-cita pembangunan nasional. Tari Tayub dikendalikan melalui standardisasi atau sertifikasi yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran sosial yang patuh, positif, dan moralis. Tari Tayub yang merasuk ke dalam sisi-sisi paling personal dari kehidupan sosial masyarakat, menjadi instrumen yang efektif untuk membangun karakter masyarakat.
Selain penataran serta pembinaan tari tradisional sebagai cara-cara pendisiplinan, berlangsung pula sensor serta pembatasan terhadap pengaruh budaya luar yang dianggap dapat membahayakan identitas bagi orang Indonesia. Orde Baru menegaskan otoritas politiknya dengan membubarkan kegiatan-kegiatan muda-mudi yang terkait dengan tari breakdance. Tarian ini dikecam tidak sesuai dengan Pancasila. Ada yang kontradiktif dalam kebijakan seni dan budaya semasa Orde Baru khususnya, terkait dengan keterbukaan kapitalisasi tari sebagai kekuatan di tengah persaingan globalisasi, namun pada sisi lainnya ada hasrat untuk memurnikan seni demi menjaga ideologi dan moralitas bangsa.
Perdebatan yang kemudian muncul adalah, terbenturnya ruang sakral dan profan dalam seni tari tradisional, khususnya soal seberapa jauhkan komersialisasi dapat ditolerir tanpa menggerogoti esensi? Visi pertandingan pembangunan ekonomi masa Orde Baru, mendorong penyesuaian budaya tari yang dicabut dari akar bermasyarakatnya, atau fungsi kemanjuran spiritualnya menjadi produk-produk yang dikomodifikasikan.
TANYALAH kepada anak gadis usia SD di dukuh Ngrajek Desa Sambirejo, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Ngajuk (Jatim), apa cita-cita mereka setelah tamat SD. Hampir dapat dipastikan mereka ingin jadi waranggana, penari tayub. Desa itu memang dikenal sebagai “gudang” waranggana.
Ambil conto keluarga Sumiyatun (42). Tiga bersaudara, dua diantaranya masih aktif sebagai penari tayub dan tergolong beken di desa itu. Bahkan salah seorang putri Sumiyatun, Sitti (18), terpilih di antara 20 penari tayub yang akhir bulan lalu diwisuda menjadi waranggana setelah dinyatakan lulus oleh kantor Depdikbud setempat, dan memperoleh kartu induk.
Dengan kartu induk di tangan, maka salah seorang penari tayub untuk tampil dalam pentas tayub, kesenian tradisional yang kini masih banyak penggemarnya di pedesaan. Salah satu bentuk tari pergaulan seperti halnya ketuk tilu di Jawa Barat dan tari bumbung di Bali. Tanpa kartu induk yang merupakan “SIM” bagi pengendara mobil, seorang penari tidak bakal mendapatkan izin pentas.
Bebagai pembinaan dilakukan Depdikbud melalui penataran P4 dan sarasehan yang melibatkan waranggana pangrawit (penabuh gamelan) dan pramugari (MC) yang tergabung dalam Hiprawarpala (Himpunan Pramugari, Waranggana dan Pangrawit Langen Beksa). Sasarannya satu, mengangkat citra kesenian tayub yang sering dicemari mabuk-mabukan dan cecok rumah tangga berbuntut perceraian.
***
WISUDA waranggrana itu sendiri, menurut Adiatmodjo (60) sudah lama ada. Upacara itu disebut gembyangan dan di lakukan di sebuah sumur tua Mbah Ageng dan petilasan Mbah Budho, biasanya diadakan setiap akhir panen. Upacara magis yang dihubungkan dengan roh para leluhur itu, juga dikenal dengan upacara “bersih desa” yang dimeriahkan dengan tari-tarian tradisional. tayub.
Tak kurang Bupati Nganjuk, Drs. Ibnu Salam, dan segenap anggota Muspida dan pejabat terkait hadir dalam wisuda waranggana, disaksikan ratusan warga setempat. Bupati siang itu memberikan tali-asih berupa sampur (selendang) kepada 20 wisudawan.
Adalah Sariyatun (17) yang usai diwisuda tampil ke depan hadirin membacakan panca Prasetya Waranggana, antara lain berbunyi, “Kami para waranggana berjanji, senantiasa taat kepada Pancasila dan UUD 1945, siap sedia melayani masyarakat, bangsa dan pembangunan serta berusaha meningkatkan keterampilan untuk menjunjung derajat waranggana dan wanita pada umumnya”.
“Dulu para wisudawan di guyur dengan air sumur Mbah Ageng. Sekarang mereka diperciki air yang diambil dari air terjun Sedudo, sekaligus untuk mempromosikan objek wisata di daerah itu,” kata Sugiopranoto (65), pemimpin upacara siang itu. Ini merupakan kegiatan kedua, setelah awal Juli lalu kepada sejumlah turis Amerika dipertontonkan pentas tayub dan mereka ikut ngibing (berjoget) bersama para waranggana.
Diiringi gending Subokastowo Patet 9, para wisudawan berbaris kedepan sumur tua Mbah Ages dimana terdapat dupa yang terus-menerus mengepulkan asap kemenyan, berbaur dengan wangi parfum dan bau keringat yang membasahi tubuh sang wisudawan. Usai wisuda, mereka menari mengelilingi sumur Mbah Ageng diiringi 10 gending, dari yang berirama sentimentil sampai Disco.
***
KESENIAN tayub yang dulu hanya disuguhkan pada pesta-pesta istimewa di kalangan bangsawan, diakui oleh Kasi Kebudayaan Depdikbud setempat, Soewondho, masih menimbulkan pro dan kontra. “Tayub dengan segala dampaknya merupakan problem sosial sekaligus mental yang perlu pemecahan. Utamanya di kalangan generasi tua yang beranggap bahwa tayub harus ada minuman keras. Ini jelas keliru,” tegas Suwondho. (A. Suyatna)