Pertunjukan “Meta Ekologi” Sardono W. Kusumo pada Oktober 1979 merupakan sebuah pertunjukan yang disambut sangat baik dalam liputan di banyak media saat itu. Dari beberapa arsip koran harian pada masa itu, baik yang menginformasikan pertunjukan maupun mengenai pembacaan yang membangun diskursus seni tari dan teater dari beberapa komentator dan pengamat pertunjukan “Meta Ekologi” di masa itu, menempatkan pertunjukan Sardono yang menggunakan lapangan terbuka berlumpur di sekitar TIM (Taman Ismail Marzuki) sebagai panggung pertunjukan sebagai momen penting yang memuat ragam diskursus pertunjukan melalui pembacaan lintas disiplin seni. Para komentator yang salah seorangnya adalah Franki Raden, sebagai salah seorang seniman yang terlibat di dalam pertujukan “Meta Ekologi” menyebutnya sebagai sebuah pendekatan baru seni pertunjukan di masa itu yang dilakukan melalui pembacaan praktik artistik lintas-disiplin. Selain itu, pertunjukan “Meta Ekologi” di beberapa komentar di meda massa, juga dianggap sebagai pertunjukan yang melibatkan isu sosial politik, khususnya isu lingkungan sebagai pendekatan artistik maupun tematik yang secara organik dihadirkan sebagai peristiwa pertunjukan.
Seorang komentator yang juga menarik untuk dibicarakan adalah Alwin Nikolais (1910-1993), salah seorang sutradara teater yang bersama Dance Theatre dari Amerika Serikat juga diundang sebagai bagian dalam rangkaian program pertunjukan yang berlangsung di TIM saat itu. Pada liputan Harian Sinar Harapan 13 Oktober 1979 yang berjudul “Meta Ekologi” dari Timur, “Total Theatre” dari Barat, ia menyatakan bahwa pertunjukan “Meta Ekologi” sebagai pendekatan meta estetika. Komentar Alwin NIkolais sendiri tidak lepas dari perspektif pertunjukan praktik artistik yang ia bawa di dalam pertunjukannya sendiri. Pengertian meta estetik di dalam pertunjukan “Meta Ekologi” Sardono oleh adalah estetika modern yang dikembalikan pada bentuk-bentuk spasial kultural lokal masyarakat yang melingkari pertunjukan tersebut, atau dalam bahasa Alwin Nikolais dalam komentarnya adalah mengembalikan seni pertunjukan pada sesuatu yang purba. Kerangka meta estetik dalam komentar Alwin Nikolais ini tentu tidak lepas dari praktik pertunjukannya sendiri bersama Dance Theatre, yang sebenarnya menganggap pertunjukannya juga sebagai meta estetik dalam istilah ‘teater total’. Pengertian ‘teater total’ sebagai meta estetik dalam kerangka praktik dan pandangan Alwin Nikolais ini, adalah praktik-praktik lintas-displin di dalam seni pertunjukan melalui penggunaan medium-medium lain di luar seni pertunjukan. Dua modus ‘meta’ yang dibaca Alwin Nikolais di dalam rangkaian program pertunjukan yang berlangsung di TIM pada bulan Oktober 1979 tersebut, dianggap sebagai pertunjukan yang menembus ‘kelesuan’ seni di Indonesia pada masa itu, melalui pendekatan-pendekatan pertunjukan yang berbasis praktik lintas-disiplin. Pertunjukan “Meta Ekologi” Sardano sendiri berlangsung pada 12-15 Oktober 1979, dan pertunjukannya Alwin Nikolais sendiri bersama Dance Theatre melakukan pertunjukan pada tanggal 15-16 Oktober 1979. Dua pertunjukan dalam kerangka meta estetik ini, adalah sebagai satu kesatuan program acara yang di adakan oleh DKJ/PKJ-TIM yang bekerja sama dengan Chamber of Commerce dan USICA.
Kita bisa menafsirkan, pendekatan meta estetik pada pertunjukan “Meta Ekologi” sebagai sebuah pertunjukan yang tidak lagi berbasis pada panggung proscenium, yang menjadikan lapangan berlumpur di sekitar TIM sebagai peristiwa pertunjukan, serta pelibatan banyak aktor yang menyatu dengan lumpur-lumpur di lapangan, untuk merefleksikan kebertubuhan dengan spasialitas kultural masyarakat Indonesia yang berbasis kehidupan bercocok tanam, serta isu-isu lingkungan. Pada liputan Harian Sinar Harapan 13 Oktober 1979 tentang pertunjukan “Meta Ekologi” tersebut, Franki Raden berpendapat bahwa manifestasi artistik sudah tidak lagi menjadi obsesi dalam pertunjukan tersebut, anasir inilah yang kemudian menjadi salah satu bentuk ‘meta estetik’. Dalam prosesnya, proses pertunjukan yang proses latihannya berlangsung dua bulan tersebut merupakan hasil riset Sardono dan Franki Raden, yang menjelajahi masyarakat Nias, Dayak di Kalimantan, dan Bali, dalam menangkap alam sebagai potensi roh, untuk merefleksikan hubungan alam dan manusia. Pengalaman tersebut kemudian menjadikan pertunjukan juga menjadi semacam ritus, mantra, dan seterusnya sebagai meta estetik berdasarkan lanskap kultural masyarakat lokal yang dekat dengan lingkungan. Meta estetik di dalam pertunjukan “Meta Ekologi” menjadi semacam seni pertunjukan yang kembali pada hubungan manusia dengan alam, berdasarkan spasialitas lokal masyarakat yang ada di Nusantara, yang dalam hal ini, Sardono sendiri menganggap pertunjukan tersebut juga sebagai peleburan dan melepaskan pengotak-kotakan medium seni seperti, teater, tari, film, musik, dan seni rupa yang secara serentak dan lebur dalam pertunjukan. Kerangka peleburan ini jugalah, yang barangkali juga dianggap sebagai meta estetik dalam istilah Alwin Nikolais. Pada keterangan liputan Harian Sinar Harapan 13 Oktober 1979 ini, Sardono juga menyebut dengan sebuah istilah pendekatan pertunjukannya dengan kalimat “…hanya dengan ‘cara begitu’, dan tidak mungkin dengan cara lain…”, mungkin dapat ditafsirkan sebagai pelepasan obsesi artistik seperti yang juga diakuinya.
Pertunjukan “Meta Ekologi” oleh Sardono dan kawan-kawan serta pertunjukan Dance Theatre asal Amerika yang dipimpin oleh Alwin Nikolais pada pertengahan Oktober 1979, menjadi semacam diskursus ‘meta estetik’ di dalam seni pertunjukan, yang dalam konteks pertunjukan Dance Theatre adalah peleburan semua medium seni dalam satu pertistiwa pertunjukan sebagai sesuatu yang ‘meta’, sementara pengertian ‘meta’ dalam pertunjukan “Meta Ekologi” adalah semacam pertunjukan yang tanpa obsesi manifestasi artistik dan kembali pada lanskap kultural lokal masyarakat dan lingkungan. Dua ‘pelampauan’ (meta) yang didekati oleh dua kelompok pertunjukan dari dua negara yang berbeda dalam sejarah seni ini, menjadi sebuah diskursus seni pertunjukan berdasarkan praktik lintas disiplin yang menarik, yang perbincangannya juga semakin mendapatkan tempat sampai hari ini, khususnya seni pertunjukan di masa era digital dan sosial media yang praktiknya semakin melintasi medium dan disiplin.
Alwin Nikolais sendiri dikenal sebagai seorang koreografer yang berbasis lintas-displin karena menggunakan medium-medium seni lainnya seperti desain kostum yang inovatif, pencahayaan, musik dan lain sebagainya yang dianggapnya memberikan visi baru pada tarian. Ia dikenal sebagai ‘bapak teater multi media’. Sebagai seorang koreografer, Alwin Nikolais cukup dikenal di dunia dengan beberapa penghargaan seperti National Medal of Arts, yang dianugerahkan oleh Presiden Ronald Reagan pada 1987, Grande Medaille de Vermeille de la Ville de Paris, yang dianggap penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Kota Paris, dan beberapa penghargaan lainnya, dengan jenis penghargaan dari seni lainnya, seperti sastra. Kecenderungan karya-karya Alwin Nicolais sendiri memang membuat platform baru tentang tari. Tubuh tidak lagi menjadi pusat, dan kemudian ia mendesentralisasikan penari, sehingga tubuh penari hanya menjadi salah satu elemen teatrikal di atas panggung. Hal ini tidak lepas dari kritik modernitas Nicolais terhadap obsesi penari yang hanya berkutat pada diri sendiri. Nikolais menggunakan lampu, slide, musik elektronik, dan alat peraga panggung untuk menciptakan lingkungan yang di dalamnya penari bergerak dan, yang lebih penting, menjadi tempat mereka berbaur. Konteks yang sama dari latar belakang Alwin Nikolais ini dapat dilihat dari pertunjukan “Meta Ekologi” yang menggunakan pendekaan lintas disiplin seperti musik dan medium visual sebagai bagian dan rangkaian pertunjukan. Lokasi dan panggung pertunjukan yang dibentuk menjadi semacam persawahan 10×10 m yang kemudian menghadirkan banyak pemain yang secara performatif, tubuh kolektif dalam pertunjukan menyatu dengan tanah persawahan, menjadi pertunjukan karya Sardono W. Kusumo yang juga melihat tubuh bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terhubung dengan ruang dan elemen medium seni lainnya.
Perbincangan meta estetik dalam kerangka pertunjukan “Meta Ekologi” Sardono yang berlangsung pada Oktober 1979, menjadi sebuah penanda baru bagi pertumbuhan seni pertunjukan di Indonesia. Setidaknya merujuk pada istilah meta estetik oleh Alwin Nikolais merupakan penanda sebuah pendekatan baru dalam kerangka praktik lintas disiplin seni pertunjukan di masa itu. Kemudian meta estetik sebagai kerangka pendekatan pertunjukan “Meta Ekologi” yang menggunakan penggunaan lapangan terbuka, dan berupa kubangan lumpur, serta tidak lagi menggunakan panggung konvensional, semacam pendekatan meta estetik yang mengembalikan landskap pertunjukan yang dikembalikan dalam ranah kultur ekologi sosial masyarakat Indonesia. Kubangan lumpur yang menjadi arena peristiwa pertunjukan menjadi semacam, anasir keseharian ‘lokalitas’ masyarakat Indonesia yang matapencahariannya dekat dengan tanah dan alam. Dalam istilah kontemporer, bisa dikatakan pertunjukan “Meta Ekologi” sudah menggunakan pendekatan ‘site specific’, meski ada pemindahan konteks, namun penggunaan-penggunaan lapangan dan lumpur yang dibikin untuk pertunjukan adalah usaha memindah pengertian lokasi sebagai situs. Pengertian ruang sebagai situs inilah yang didalamnya diandaikan bukan saja pengertian fisik, namun ruang yang mengandaikan perilaku, habitus, sejarah, dan seterusnya. Lapangan berlumpur sebagai peristiwa pertunjukan menjadi semacam landskap ekologi sosial masyarakat Indonesia yang identik dengan alam dan bercocok tanam. Mungkin mengembalikan seni pada ranah sosial kultural keseharian masyarakat inilah yang dimaksud oleh Franki Raden di atas sebagai tidak adanya obeses manifestasi artistik, yang mungkin juga sebagai pengertian meta estetik oleh Alwin Nikolais.
Pengertian lintas disiplin dalam kerangka meta estetik dalam pertunjuan “Meta Ekologi” pada Oktober 1979, mungkin bukan dibayangkan pengertian lintas disiplin hari ini yang cendrung perbincangannya pada lintas medium. Penggunaan isu-isu sosial politik, khususnya isu lingkungan di dalam pertunjukan “Meta Ekologi”, juga merupakan pendekatan lintas disiplin yang telah di lakukan oleh Sardono dan kawan-kawan pada masa itu. Bahkan isu lingkungan di dalam pertunjukan “Meta Ekologi” membangun semacam lintas disiplin lain, yakni memindah ‘situs’ atau lokasi (site) dari kultur ekologi sosial masyarakat Indonesia ke sebuah lingkungan seni. Perbandingannya dengan lintas disiplin dari pertunjukan Alwin Nikolais bersama Dance Theatre yang juga melakukan pertunjukan setelah “Meta Ekologi”, adalah lintas disiplin yang merujuk pada lintas medium yang menyatukan seni musik, tari, teater dan seterusnya sebagai satu kesatuan peristiwa pertunjukan. ‘Meta estetik’ menjadi istilah yang menarik dari Alwin Nikolais. Dalam konteks hari ini, istlah meta bisa saja diandaikan praktik lintas disiplin, yang perkembangan praktiknya di dalam seni pertunjukan di Indonesia semakin dirayakan hari ini.