Melalui pembacaan lima arsip terkait seni tari yang terbit tahun 1970-an yang saat ini tersimpan di Dewan Kesenian Jakarta ternyata sebagai pembaca saya menemukan berbagai soal yang dapat saya tanggapi. Tulisan ini melibatkan tiga arsip tentang tari tradisional, satu tentang kritik seni tari, dan satu lagi tentang organisasi kesenian yang pada masa itu banyak melakukan kegiatan misi kebudayaan ke luar negeri.
Tari “Ngalak Aeng”, Tari Pakon, dan Tarian Asli Daya Ngaju
Saya akan mulai dari arsip pertama yang menarik perhatian saya, yakni arsip dari koran Berita Buana, 16 Juni 1978 yang berjudul Tari “Ngalak Aeng” yang artinya “mengambil air”. Beritanya tidak panjang dengan bahasa yang kurang baik, dan barangkali juga tidak begitu penting ketika dibaca sebagai berita koran. Namun, 44 tahun kemudian berita ini menjadi menarik ketika dikaitkan dengan kondisi sekarang. Berita ini bercerita tentang pertunjukan tari “Ngalak Aeng” yang dipentaskan di sebuah acara penutupan Musyawarah Besar Angkatan 45 yang berlangsung di Pandaan, Jawa Timur.
Tari “Ngalak Aeng” merupakan tari tradisional Madura yang ditarikan oleh gadis-gadis muda. Dalam berita itu secara khusus dikatakan bahwa “Ngalak Aeng” adalah tari “exotic”. Tari ini sempat membuat jantung bapak-bapak berusia di atas 50 tahun yang hadir berdetak kencang. Berita ini tampaknya memang ingin menceritakan gerakan tari yang melibatkan dilepaskannya kebaya para gadis penari dan hanya tinggal baju dalam saja. Tari ini disebut “exotic”, tetapi apakah tepat istilah exotic di sini? Agaknya penulis berita ini mengacaukan antara pengertian “exotic” dan “sensual”.
Selain penggunaan kata yang keliru, tulisan berita ini juga memperlihatkan kualitas bahasa koran saat itu yang seperti tidak mengenal kaidah bahasa Indonesia seperti yang ada dalam Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang diresmikan tahun 1972. Kendati sudah 6 tahun eksistensi EYD, para wartawan/penulis di surat kabar tampaknya belum menggunakan pedoman tersebut untuk meningkatkan kualitas tulisannya. Empat puluhan tahun yang lalu ternyata bahasa surat kabar masih jauh dari baik. Dan yang pasti, tulisan-tulisan di koran pada masa itu sama sekali belum memperhatikan kaidah bahasa.
Dari arsip yang mulanya tampak sama sekali tidak menarik dan tidak penting ini muncul beberapa persoalan yang pantas dibicarakan. Dalam kaitan dengan arsip tentang eksistensi sebuah tari tradisional asal Madura, berita koran ini menjadi berguna. Dari arsip ini sangat mungkin akan ada peneliti yang membaca arsip ini yang tertarik untuk melihat kembali tari-tari tradisional yang agaknya sudah tak pernah kita dengar, apalagi melihat pertunjukannya. Para peneliti tentang isu-isu terkait preservasi dan revitalisasi seni seharusnya tertarik dengan berita kecil ini dan melanjutkannya menjadi penelitian yang berguna. Bagi mahasiswa yang mendalami tari (tradisional), berita ini dapat dijadikan titik berangkat untuk mengetahui nasib banyak tari di Nusantara ini yang sudah tersingkir dari kehidupan kesenian masyarakat yang dulu memilikinya. Di satu sisi, ada banyak sekali tari yang rasanya sudah hilang dari panggung-panggung tari, tetapi di sisi lain, ada banyak upaya dari pemerintah untuk menjaga dan melindungi tari tradisi dengan menggunakan pendekatan dan konsep yang berorientasi kepada UNESCO. Apakah semua yang sudah dilakukan ada dampaknya terhadap kesenian tradisi dan tradisi kesenian? Perlu ada semangat untuk mengevaluasi kembali apa yang sebenarnya terjadi. Para aktivis kesenian dan para pelaku seni perlu melakukan sesuatu demi mengembangkan tari, kritik tari, preservasinya, dan revitalisasinya jika memang dinilai perlu dilakukan. Semua ini berpulang kepada mereka yang memegang kuasa (kesenian dan kebudayaan) dan kepada para pelaku seni itu sendiri.
Melanjutkan pembicaraan tentang tari tradisi, ada satu arsip dari Kompas, 11 Januari 1977 yang mencatat tentang tari Pakon yang berasal dari Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tari ini adalah tari yang dimaksudkan untuk pengobatan. Penari Pakon dalam gerak-gerak tarinya akan masuk ke dalam situasi kesurupan. Saat menari di bawah sadar atau disebut kesurupan penari akan menyebutkan obat-obat yang diperlukan untuk menyembuhkan penyakit seseorang. Jenis tari dengan tujuan pengobatan ini penting untuk dicatat dan dipahami oleh generasi penerus. Kearifan lokal dalam bentuk pengobatan adalah bagian dari tradisi lisan yang perlu diteliti dan dicatat dengan baik. Tradisi lisan yang tersimpan dalam pertunjukan tari ini sangat mungkin akan memberi informasi terkait obat-obatan tradisional. Obat-obatan tradisional merupakan salah satu warisan dalam bentuk kearifan lokal yang berharga dan perlu dipertahankan.
Arsip tari yang ketiga adalah berita dengan judul “Tarian Asli Suku Daya Ngaju akan Dikembangkan”. Dalam perjalanan sejarah tari Indonesia, isu pro dan kontra pengembangan kesenian tradisional seperti diungkapkan dalam berita koran Kompas, 4 September 1976 terus ada. Melalui arsip ini kita melihat bagaimana soal pemertahanan tari selalu bermasalah. Pro dan kontra ini agaknya timbul dari pemahaman atas kata tradisi. Ada yang melihat tradisi sebagai sesuatu yang sakral, yang tak boleh diubah, tetapi ada pula yang mendefinisikan tradisi sebagai sesuatu yang justru harus terus berubah. Jika membaca berita koran ini, kita dapat membayangkan bahwa selama hampir 5 dasawarsa isu-isu dalam pengembangan tari belum ada perkembangan yang mencerahkan bagi pengembangan tari-tari tradisi.
Kiprah Perkumpulan Kesenian Ratna Budhaya
Berita koran Minggu berjudul “Kiprah Ratna Budhaya Menarik Kalangan Seni di Ibu Kota Taiwan” (Minggu Merdeka, Januari 1977) menarik perhatian jika kita mengingat kembali salah satu organisasi kesenian yang pernah berjaya di masa lalu pada rezim Soeharto. Nama Ratna Budhaya yang dipimpin oleh Ny. Lies Mashuri, isteri Menteri Penerangan saat itu, pada dasawarsa 70-an dalam memori pribadi (dan mungkin juga memori kolektif generasi saya) adalah sebuah nama organisasi kesenian yang menjadi harapan seniman (tari) untuk dapat berangkat ke luar negeri sebagai bagian dari misi kesenian.
Kritik Seni Tari di Indonesia
Sebagai penutup dari pembacaan lima arsip yang diambil dari surat kabar yang terbit pada 1977-78 adalah berita mengenai seminar kritik tari yang diselenggarakan oleh LPKJ (sekarang IKJ) pada bulan Oktober 1977 dan berita korannya bertanggal 25 Oktober 1977 yang terbit di Kompas. Seminar Kritik Tari itu sudah berlangsung 45 tahun yang lalu, tetapi tampaknya isu-isu yang dibicarakan saat itu belum bergerak jauh dari apa yang dikemukakan tokoh-tokoh tari seperti Edi Sedyawati, I Wayan Dibia, Sardono W. Kusumo, untuk menyebut sebagian saja. Edi Sedyawati menulis kertas kerja (saat ini lebih lazim disebut makalah) berjudul “Isi dan Sasaran Kritik Tari”, I Wayan Dibia menyampaikan kertas kerja “Masalah Kritik Tari”, dan Sardono W. Kusumo berbicara tentang “Kritik Tari, Sampai di mana?“ Kertas kerja lain yang ditulis Sudarsono berbicara tentang “Cara Pengembangan Kritik Tari”. Jika dibandingkan dengan eksistensi tari yang berkembang di Indonesia seharusnya kita sudah memiliki bentuk kritik tari yang sudah berkembang baik dan siap merespons dan mengiringi perkembangan tari, seminar tahun 1977 ini memperlihatkan keterlambatan perkembangan kritik tari Indonesia. Sepanjang 45 tahun (sampai 2022) ini rasanya masalah terkait kritik tari belum beranjak dari pertanyaan apa isi dan sasaran kritik tari, apa masalah kritik tari, dan sudah sampai di mana kritik tari, serta bagaimana mengembangkan kritik tari. Selama lebih dari 4 dasawarsa ini ternyata masalah-masalah yang dihadapi kritik tari masih seputar masalah-masalah dasar. Ada banyakkah kritikus tari yang kita kenal di abad ke-21 ini? Barangkali pengetahuan saya yang terbatas, tetapi saya hanya mengenal nama Sal Murgiyanto yang menulis beberapa buku. “Untung ada Pak Sal,” model kalimat yang kita dengar dari pementasan Srimulat pada masa jayanya.
Arsip: Titik Berangkat Melihat Perjalanan Isu
Berdasarkan lima berita surat kabar yang terbit tahun 1977-1978 di 3 surat kabar: Kompas, Berita Buana, dan Minggu Merdeka, pembacaan arsip ini membawa kita pada poin-poin penting dalam dunia tari yang masih diperjuangkan hingga saat ini (abad ke-21) seperti eksistensi dan pengembangan tari tradisional, perkembangan kritik tari, dan promosi kesenian ke luar negeri. Dunia kita memang sudah sangat maju teknologinya, tetapi tampaknya hal-hal mendasar terkait tari belum juga berkembang mengimbangi kemajuan teknologi informasi yang sudah jauh berada di depan. Mengapa tari dan kesenian lain tertinggal? Mari kita pikirkan bersama.