Dalam media saat itu, Tempo, 5 Januari 1985, terlihat tajamnya perbedaan perspektif selera antara pelaku ekspresi tubuh kaum muda melalui breakdance dan pemerhati perilaku kaum muda tersebut, yang mewujud dalam penghakiman maupun dukungan di media cetak. Perbedaan perspektif tersebut, yang terlihat lebih terkesan negatif daripada positif, justru semakin mengangkat breakdance menjadi perbincangan masyarakat luas. Ruang terbuka di kota yang menjadi lokasi breakdance ditarikan menjelma arena pertempuran kode budaya sedangkan media cetak menjadi arena pertempuran statement antara selera populer kaum muda dengan selera kebangsaan dan romantisme ekspresi masa sebelumnya lewat kesenian tradisional oleh kaum yang lebih tua.
Pada periode-periode sebelum breakdance, tren tari semacam jive, swing, cheek-to-cheek (1920-1940), rock’n’roll (1950-an) yang dianggap brutal dan kontra revolusi, lenggang patah sembilan, tanjung katung, serampang dua belas (1960-an), cha-cha-cha, twist, agogo (asal goyang-goyang), dan hustle (1970-an) yang dilakukan oleh kaum muda pada zamannya pun diperlakukan demikian oleh kaum yang lebih tua.
Jelas, dansa-dansi di lantai dansa atau klub disko tersebut merupakan ekspresi tubuh kaum muda untuk merayakan kemudaannya. Ekspresi tubuh dalam pencarian identitas kaum muda dengan cara mengikuti tren global, mengadopsinya dalam bentuk gerakan, busana, iringan musik, hingga gaya hidup, yang bentuk ekspresinya selalu keluar dari pakem yang sudah ada sebelumnya, sudah pasti ditolak oleh kaum yang lebih tua. Penolakan tersebut bahkan sampai pada penggunaan intervensi politik dan penegakan hukum oleh yang berwajib. Apalagi perubahan tren gerak tubuh yang bergeser jauh dari yang dilakukan di lantai dansa atau klub disko (ruang privat) menjadi gerakan tari yang dilakukan di ruang terbuka kota (ruang publik).
Demikianlah yang terjadi pada breakdance di era 80-an, dari tiga artikel media cetak pada arsip DKJ tahun 1985 nampak bahwa gerak tubuh, busana, iringan musik, hingga gaya hidup pun mengikuti apa yang menjadi konvensi yang disebut dengan breakdance. Istilah seperti head spin, kick worm, moon walk, hand glide, moonwalk, back spin, electric boogie, donkey, chain wave, egyptian, spider, dan lain-lain. Penggunaan busana dengan kelengkapannya seperti: ikat kepala, ikat pinggang, kalung rantai, sarung tangan ferari, anting-anting, gelang kulit penuh paku putih mengilap (seharga 2000-7500 rupiah untuk produk buatan lokal, dan produk impor dihargai lebih mahal tiga sampai lima kali lipat dari produk lokal) sepatu kets, kaos T-shirt, celana yang ujungnya dijepit kaus kaki, jaket kulit/satin, karet pelindung lutut dan siku. Ekspresi tubuh tersebut diiringi oleh musik dengan beat berirama hiphop lewat kaset (seharga 1500-2500 rupiah) yang diputar pada mini compo (tape recorder dengan pengeras suara stereo) ataupun tape dari dalam mobil, yang aktivitas ekspresinya itu dipelajari dari mengamati rekaman video yang dibawa dari Amerika, atau dari
film Amerika seperti: Flashdance, Breakdance The Movie. Ekspresi gerak tubuh, perlengkapan busana, iringan musik, dan referensi video tersebut, terlihat seperti wahana sekaligus kode budaya, yang tiba-tiba tampil pada ruang terbuka kota. Bagi kaum yang lebih tua, ekspresi yang asing, liyan, dan berbeda ini pun tampak seperti yang dilakukan kepada kelompok mereka pada zaman mereka muda oleh kaum yang lebih tua. Dapat dikatakan bahwa permasalahan ini merupakan persoalan perbedaan soal selera saja.
Jika kita menelisik konteks pada saat itu, kondisi ekonomi Indonesia sedang baik-baik saja yang ditunjukkan dari kondisi swasembada pangan serta meningkatnya investasi dari luar negeri. Peningkatan investasi ini pun terlihat dengan pembukaan gerai-gerai restoran waralaba dengan mengusung makanan-makanan seperti hamburger, pizza, dan donat di Jakarta. Penataan serta penertiban situasi pada ruang kota pun menjadi lazim dilakukan oleh pemerintah, misalnya penertiban becak dan kaki lima. Situasi-situasi tersebut secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi ekspresi tubuh breakdance yang yang ditiru dari Amerika itu. Kondisi ekonomi yang baik serta pembukaan ruang-ruang komersil yang mengusung produk serta citarasa dari luar, serta penataan dan penertiban ruang kota seperti memperlihatkan adanya suatu usaha penciptaan ruang kota modern yang diimpikan (utopia). Namun, breakdance yang dilakukan di ruang publik, dirasakan oleh kaum yang lebih tua seperti sebuah kebalikan
dari utopia tersebut (dystopia). Dengan kata lain, seakan-akan ada dua arus yang masuk dari Amerika, yaitu industri gaya hidup yang masuk ke Indonesia secara terlegitimasi, serta ekspresi tubuh melalui breakdance yang masuk melalui budaya pop. Ketika kedua arus ini bertemu di ruang publik, justru keduanya dianggap kontradiktif menurut penilaian kaum yang lebih tua. Oleh karena itu, pada perkembangannya kemudian, nampak adanya suatu usaha untuk menginstitusikan ekspresi tubuh yang dilakukan tersebar di ruang terbuka kota agar terlegitimasi, dengan menempatkan ekspresi tubuh tersebut pada ruang khusus, yang mungkin berbayar.
Relokasi tubuh beserta ekspresi tubuh dalam ruang khusus itu merupakan usaha untuk melegitimasi dan menginstitusikan tubuh dan ekspresi tubuh, berikut citra dan identitas yang melekat. Usaha ini terlihat sebagai cara untuk membuat breakdance masuk dalam situasi industri gaya hidup yang memungkinkan tubuh dan ekspresinya dapat terlacak, terawasi, sekaligus menjadi pasar dan penggerak pasar itu sendiri.