(Penulis: Esha Tegar Putra)
“Memang sulit sekali. Tak semudah yang dibayangkan, bagaimana menggabungkan sesuatu berbau Indonesia dalam balet.”
(Farida Feisol, Masalah-Masalah yang Dihadapi dalam Menata Tari, November 1983)
“Kalau dulu bisa muncul semacam Sangkuriang dan Farida Gunung Agung Meletus, itu kan hanya kegilaan kita saja.”
(Yulianti Parani, wawancara 30 Desember 2020)
“Sesudah menguasai teknik balet, seorang koreografer dituntut menguasai tari Nusantara untuk bisa menciptakan karya balet bercitra Indonesia.”
(James Danandjaja, Dewan Penilai Pekan Balet I/1982)
Sekitar lima atau enam tahun lalu, Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mulai melakukan penelisikan terkait konsep balet Indonesia, hidup dan perkembangan balet Indonesia, atau wacana mengenai balet bercitrakan Indonesia yang pernah digarap oleh para tokoh dan grup balet Indonesia pada periode 1960-1980an. Penelisikan ini melalui serangkaian metode kerja, mulai dari mengumpulkan sumber arsip terkait, sampai melakukan wawancara terhadap tokoh balet dan pemerhati tari.
Usaha menelisik kembali tumbuh-kembang balet di Indonesia ini cukup menarik, khususnya melihat bagaimana proses perkembangan tari klasik dari Barat dengan teknik yang dapat dikatakan mapan, kemudian diadopsi-disusupi dan dihadirkan melalui corak-ragi Indonesia. Tidak hanya melalui proses garapan sampai pertunjukan, wacana mengenai balet bercitrakan Indonesia ini sempat dijadikan semacam ‘tawaran khusus’ pada agenda Pekan Balet yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, bekerja sama dengan Ikatan Pengajar-Pelatih Balet (IPPB) Jakarta, yang kali pertama pada tahun 1982.
Menariknya lagi, meskipun pada periode tersebut wacana mengenai balet bercitrakan Indonesia santer dibicarakan para tokoh-tokoh balet dalam Pekan Balet, tapi sebagian peserta dalam agenda tersebut bahkan mengakui konsep tersebut dirasa asing bagi mereka. Wacana tersebut dirasakan hanya berkembang di sekitar Jakarta, sementara peserta dari daerah lain merasa kebingungan dan mengatakan dengan terpaksa menciptakan balet bercitrakan Indonesia.
Hasrat untuk menemukan balet bercitrakan Indonesia memang tampak sangat besar dalam penyelenggaraan Pekan Balet I/1982. Faida Feisol selaku Ketua Komite Tari DKJ dalam sambutan pada acara tersebut mengungkapkan, baik DKJ atau IPPB mempunyai suatu konsep kebudayaaan sama, bahwa dua lembaga itu ingin meletakkan seni tari balet yang bercitrakan Indonesia, balet yang memiliki rasa serta identitas Indonesia, tetapi tidak meninggalkan dasar balet klasik. Farida Feisol juga mengungkapkan, selain sebagai manifestasi dari luapan dan minat para penari, pera pembina serta penggemar tari balet, agenda Pekan Balet I/1982 juga diniatkan memperoleh data tentang kemampuan grup-grup balet dalam garapan baru yang bercitrakan Indonesia.
Pada catatan ini saya akan turut berupaya membentangkan, dengan menggunakan data-data arsip DKJ, bagaimana balet bercitrakan Indonesia ini pernah didorong kehadirannya oleh (terutama) Farida Feisol, mulai dari pertunjukan berikut penyertaan wacananya. Catatan ini akan berupa lintasan dari beberapa ‘kata kunci’ terkait usaha menggarap dan memberikan sentuhan antara balet dengan konsep vokabulari gerak, citraan, atau penceritaan dalam tari yang berangkat dari keragaman budaya Indonesia.
Memberi Identitas Balet Indonesia
Usaha awal untuk menampilkan citra Indonesia dalam suatu karya tari balet, menurut Edi Sedyawati selaku pemerhati tari dan Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, sudah dilakukan sejak awal periode 1960-an. Pelopornya adalah Yulianti Parani yang pada waktu itu masih dikenal sebagai You Lian. Karya pertama Yulianti berjudul Sangkuriang (1960), dan selanjutnya pada tahun 1961-1965 ia menciptakan beberapa karya tari balet lain yang mengambil tema Indonesia, seperti Petruk, Kesan Langgar, Capung Kecimpung, dan Variasi Sriwijaya, termasuk mengolah lagu-lagu Indonesia ke dalam karyanya berjudul Burung Gelatik. Namun, minat Yulianti kemudian beralih ke perbendaharaan kesenian Betawi yang melahirkan karya tari sangat bercitra Indonesia seperti Garong-garong, Plesiran, Pendekar Perempuan, dan lain-lain. Akan tetapi karya-karya tari tersebut tidak lagi bersandar pada gerak balet (Edi Sedyawati, “Citra Balet Indonesia”, Kompas, 13 Desember 1982).
Berlanjut pada periode 1970-1980-an, dalam membicarakan konsep balet ala Indonesia, kita tidak akan pernah bisa lepas dari pembicaraan terkait biografis dan proses kreatif Farida Feisol. Tokoh balet Indonesia yang sedari usia sembilan tahun mendapat pendidikan balet klasik di Moskow ini merupakan seniman yang paling getol melakukan pencarian dan mendorong lahirnya konsep balet Indonesia. Persentuhan Farida dengan penata tari tradisi dan modern dari berbagai daerah di Indonesia menumbuhkan satu kesadaran penting dalam prosesnya kreatifnya untuk mencari sumber-sumber lain penciptaan terhadap balet.
Salah satu pertunjukan penting yang kemudian menjadi titik-tumpu dan kerap dibicarakan dalam lingkaran tari Indonesia adalah garapan bersama Farida dengan Huriah Adam melalui pertunjukan Sendratari Malin Kundang. Melalui pertunjukan ini Farida memberikan sentuhan balet dalam karya Huriah, sebaliknya Huriah turut memberikan pengetahuan gerak tari Minang (atau Melayu) pada Farida, keduanya saling mengisi. Dalam beberapa catatan, Huriah dikatakan dapat dengan cepat mengikuti pola balet yang ditawarkan Farida. Sendratari Malin Kundang kali pertama digarap dan dipertunjukkan Huriah Adam melalui Huriah Adam Dance Group pada 31 Januari-1 Februari 1970. Pertunjukan tersebut kemudian berulang digarap beberapa tahun sesudahnya melalui Bengkel Kerja Tari bersama melibatkan Farida Feisol, Julianti Parani, dan melibatkan nama-nama lain seperti Sardono W. Kusuma, I Wayan Diya, Sentot, June Becks, dan lain-lain. Sepeninggal Huriah Adam, Farida Feisol dkk mementaskan Sendratari Malin Kundang melalui Bengkel Kerja Tari dan grup atas namanya sendiri. Persentuhan ini, utamanya dengan memanfaatkan kekayaan folklor Indonesia, agaknya kemudian menumbuhkan kesadaran Farida Feisol bahwa balet bercitrakan Indonesia akan dapat ditemukan.
Seiring proses Sendratari Malin Kundang, salah satu koreografi balet Farida yang disebut-sebut bercorakkan Indonesia adalah Sendratari Rama dan Sinta, yang dipentaskan di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki pada Pekan Seni Dewan Kesenian Jakarta, 14-15 Desember 1972. Sendratari yang bersumber dari Epos Ramayana ini sepenuhnya dibawakan dalam corak balet dengan komposisi musik terdiri dari gitar, gendang, dan beberapa alat musik lainnya (“Rama & Sinta versi Farida: suatu pemerkosaan terhadap kepercayaan?”, Berita Buana, 30 Januari 1973). Pementasan ini dipandang sebagai pengejawantahan usaha Farida mencari corak tersendiri dari pengembangan gerak balet klasik yang mulai ditinggalkannya (“Rama dan Sinta Farida dipergelarkan lagi”, ANTARA, 17 Juli 1973).
Koreografi Sendratari Rama dan Sinta memancing berbagai pandangan dari pengamat seni. Termasuk pandangan terkait keberanian Farida menghadirkan corak tersendiri dan menafsirkan sebuah epos. Melalui koreografi itu, ia telah mengakhiri epos yang dalam kakawin Walmiki diakhiri dengan ‘happy ending’, tetapi oleh Farida dibuat ‘unhappy ending’ (“Farida minus Sjuman yang berani tampilkan adegan sanggama”, Suara Karya, 31 Desember 1972). Dalam wawancara dengan Harian Pedoman, 15 Juni 1973, Farida menyebut Sendratari Rama dan Sinta adalah kreasi balet kontemporernya yang pertama. Melalui pertunjukan itu ia ingin menunjukkan kepribadian sendiri dalam profesinya. Ia juga mengungkapkan bahwa folklor, tarian rakyat, bisa diperkaya dengan balet dan dengan cara itu tari tradisional akan dapat diberi ‘warna’. Dengan cara itu pula, kata Farida, balet dapat diminati oleh semua golongan dan tidak hanya dapat ditonton oleh golongan tertentu. Ia percaya, dalam waktu lima tahun, usahanya untuk memberikan ‘warna’ terhadap tari tradisional dan membuat balet dapat dinikmati semua golongan akan dapat terwujud (“Farida Sjuman: Berusaha warnai tari tradisional dengan gerak balet”, Harian Pedoman, 15 Juni 1973).
Usaha Farida mencari unsur-unsur lain di luar balet klasik turut tercatat dalam pertunjukan Carmina Burana yang dipentaskan di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 21-24 November 1974, bersamaan dengan koreografi balet berjudul Episode karya June Beckx. Pertunjukan ini sendiri berangkat dari komposisi musik ciptaan Carl Orff berdasarkan karya puisi-puisi biarawan/pendeta abad pertengahan yang menceritakan suka-duka kehidupan mereka. Dalam pertunjukan Carmina Burana, Farida meluaskan proses kreatifnya lewat olahan balet modern dengan beberapa unsur tari Jawa. Namun ia tidak mau memaksa penonton supaya mau menerima ide-ide pencariannya lewat perpaduan balet modern dengan tari Jawa tersebut. Ia juga tidak mau disebut berupaya mencapai pola-pola baru, melainkan sedang melempar masalah, dan mempersilahkan penonton untuk menilainya:
“Saya hanya melemparkan masalah. Terserah pada penonton… Tapi yang jelas olahannya sudah keluar dari balet tradisionil klasik. Saya mencari gerak kemana saja dengan tidak berpijak pada pola-pola tradisionil balet.”
(Harian Angkatan Bersenjata, 19 November 1974)
Selain memadukan balet kontemporer dengan tari Jawa melalui Carmina Burana, Farida juga menghadirkan pendukung tarinya dari orang-orang teater, seni rupa, dll selain para penari yang mempunyai kemampuan tari Jawa klasik (“Tarian Carmina Burana ciptaan baru Farida Syuman”, Berita Yudha, 19 November 1974), di antaranya Nancy Hasan, Linda Karim, Sentot, June Beckx, dan Trisapto. Ia menegaskan, ragam potensi penari pendukung tersebut, bukan berarti paduan atau perkawinan antara balet dan tari Jawa menghasilkan tari gado-gado, tetapi pada bagian itulah letak bobot ekspresi yang lebih dalam dan penghayatan yang serba dominan. Menurut Farida, gerak dan pola tari Jawa memiliki kekuatan dan kesempurnaan untuk dapat mengimbangi balet yang sesungguhnya saling pengaruh-mempengaruhi (“Farida Syuman akan pentaskan tari Carmina Burana”, Berita Buana, 20 November 1974).
Carmina Burana kembali dipentaskan oleh Farida dengan pertunjukan lebih teratur pada 23-25 Februari 1976. Menariknya, pada pertunjukan kali ini ia turut menghadirkan gerakan berjudul Fariasi Minang, yang di dalam pertunjukan tersebut menghadirkan gerakan Tari Piring, Tari Sapu Tangan, dan Tari Rebana. Dalam tarian ini ia berupaya mendinamisir gerakan-gerakan sehingga tidak monoton dan selebihnya tetap dipertahankan orisinalitasnya. Tentang Fariasi Minang, Farida mengatakan pemilihan tari Minang karena gaya tarian itu lebih luwes menerima pemberian dibanding dengan tarian Jawa dan Bali. Pembaruan yang dilakukan Farida dalam koreografi itu adalah menambah banyak putaran tangan, dan penari laki-laki lebih banyak melompat. Supaya penari laki-laki lebih kelihatan jantan, maka dipakaikan galembong dan penari perempuan menggunakan pakaian biasa. Berbagai gemerlapan yang biasa hadir dalam tarian kreasi baru Minang ditinggalkannya, dengan iringan musik hidup, dan bukan kaset (“ Carmina Burana di TIM”, Suara Karya, 17 Februari 1976).
“Kurang lebih dua puluh penari akan membawakan dua karya tari ini (Carmina Burana dan Fariasi Minang), antara lain: Linda Karim, June Beckx, Sentot Sudiharto, Nancy Hasan, Trisapto, Usil Susilo HS, Retno Maruti dan Deddy Luthan. Pada penari wanita, dasar yang kuat adalah balet, tetapi mereka bisa juga mahir menarikan gaya Minang. Sedangkan prianya semua bukan orang balet. Kebanyakan mereka adalah penari Jawa dan Sumatra. Dan pengalaman selama latihan dan pementasan yang lalu, Farida ambil kesimpulan bahwa penari bisa menarikan apa saja entah itu balet, Jawa, Bali, Minang atau yang lain.”
(Suara Karya, 17 Februari 1976)
Pergaulan antara koreografer periode tersebut memang banyak sekali memberikan pelajaran dan pengalaman baru bagi tumbuhnya bahasa tari baru. Setidaknya itu terjadi antara Farida Feisol dan Huriah Adam (termasuk Sardono W. Kusumo, Yulianti Parani, dll) yang kemudian turut membuatnya menghadirkan Fariasi Minang. Sebagai koreografer dan penari berlatar belakang tari balet, Farida tidak puas dengan pola, gaya, corak yang sudah mantap dari tradisi tari modern balet. Karena itu ia berangsur-angsur mengembangkan dalam bahasa tari baru (“Farida Feisol akan tampil dengan Fariasi Minang”, Pelita, 14 Februari 1976).
Tidak hanya bermodalkan persentuhannya dengan Huriah Adam, Fariasi Minang sebagai bentuk tari Minang yang sudah diolah, dibangun sedemikian rupa menjadi sesuatu yang lain, dan menjadi kemungkinan baru dari tari Minang tradisi turut berangkat dari penelitian lapangan yang dilakukan Farida bersama rombongan Akademi Tari LPKJ di Sumatera Barat sebelumnya. Hasil dari pengalaman dan penghayatan penelitian terhadap ragam tari Minang itulah yang melahirkan sejumlah tari modern yang diberi nama Fariasi Minang.
Tiga tahun setelah pertunjukan Carmina Burana dan Fariasi Minang, Farida menghadirkan Sendratari Gunung Agung Meletus yang dipentaskan 18-20 Mei 1979 di Teater Terbuka TIM. Pertunjukan ini dipandang sebagai mahakarya sekaligus keberhasilan dalam menghadirkan balet bercitrakan Indonesia. Dalam wawancara dengan Sinar Harapan (3 Juni 1979) Farida mengatakan, meskipun dasar tari baletnya banyak berpijak pada Rusia, namun ia bertekad menghadirkan balet Indonesia, karena ia berpendapat bahwa di Indonesia seyogyanya tercipta paduan tari antara Barat dan tradisional. Dalam Sendratari Gunung Agung Meletus, terang Farida, terdapat paduan yang menyatu antara balet sebagai dasar pokok dan unsur-unsur tari Bali yang tidak terlihat secara utuh (“Ballerina Farida Feisol Ingin Ciptakan Iklim Balet Indonesia”, Sinar Harapan, 3 Juni 1979).
Sendratari Gunung Agung Meletus sendiri merupakan sendratari yang berangkat dari komposisi musik Trisutji Kamal, dari kisah meletusnya Gunung Agung di Bali tahun 1962. Sendratari yang turut didukung oleh Danarto sebagai penata artistik dibagi dalam tiga babak, yang dapat dipergelarkan secara terpisah sebagai petilan:
“…dalam babak I berjudul “Hidup Adalah Indah dan Permai” (The Joy of Life) yang menggambarkan hidup sehari-hari di desa, pertemuan antara seorang wanita dan pria, dan saat meriah dimana sang wanita dibawa lari oleh raja. “Takdir di Tangan Tuhan” (Fate is in God’s hands), ini adalah judul dari babak ke II yang mengisahkan kemesraan kedua mempelai. Meletuslah Gunung Agung yang meminta korban banyak antara lain sang pria, saat tragis dimana sang wanita secara histeris mencari mayat suaminya, yang tak ditemuinya dan akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri. Sedang pada babak ke III berjudul “Harapan Tak Kunjung Padam” (Hope never dies). Ini mengisahkan seorang pedanda membuka upacara pembakaran mayat massa, roh-roh berterbangan ketika Bade (menara) dibakar. Bagi wanita mengalami pertarungan batin antara turut mati dan tidak, antara sadar dan tidak, mengenang saat mesra, kelahiran bayi yang membawa suatu kehidupan baru, penyebaran abu di laut, perjalanan roh-roh ke swarga.”
(Harian Pelita, 11 Mei 1979)
Sendratari Gunung Agung Meletus mendapat sambutan hangat dari penonton. Kepada koran Sinar Harapan, beberapa penonton asing menyatakan garapan Farida Feisol tersebut sangat patut untuk dibawa berkeliling ke negara-negara Barat. Seorang diplomat Australia mengungkapkan bahwa pertunjukan tersebut adalah keberhasilan meng-Indonesia-kan balet. Gerak Kecak, Tamulilingan, dan lainnya, tetap dikenal ke-Bali-annya, sekalipun dibawa secara balet (“Gunung Agung Meletus Dipentaskan di TIM”, Sinar Harapan, Sabtu, 19 Mei 1979).
Mempertanyakan Identitas Ballet Indonesia (bagian I)
Perjalanan Farida Feisol menghadirkan balet bercitrakan Indonesia bukan tidak mendatangkan risiko. Ia mengatakan rekan-rekannya di kalangan balet sendiri tidak setuju dengan garapan seperti itu, malahan bentuk dukungan lebih datang dari orang luar balet (“Balet Itu pun Bergoyang Jaipong”, Kompas, Rabu, 30 November 1983). Namun dapat dilihat, betapa keinginan besar Farida itu timbul selain dari keinginannya untuk mencari sesuatu di luar balet klasik yang dipelajari, juga datang dari kejumudannya dalam melihat pola-pola balet lama.
Keyakinan Farida Feisol akan kekayaan Indonesia untuk diolah dalam bentuk balet agaknya semakin begitu kuat sekembalinya mempelajari balet secara intensif selama delapan bulan di Amerika Serikat (1973-1974). Di negeri Paman Sam itu, ia belajar pada Merce Cunningham, seorang koreografer terkenal di New York. Ia juga mempelajari teknik tari Martha Graham di June Lewis Studio selama dua bulan, belajar jazz di Billy Mahoni selama lima bulan, dan ‘menyegarkan diri’ selama tiga bulan pada bengkel balet klasik di Robert Joffrey Studio.
Dalam wawancara dengan Kompas, 4 Juli 1974, sekembalinya dari Amerika, Farida malah sampai pada kesimpulan bahwa balet di negeri itu berhenti pada titik individualistik seniman, terutama seniman avant gardist yang bosan pada pola-pola balet lama. Farida menyatakan, meski tidak dapat dibandingkan dengan balet Rusia yang terlampau agung dan indah, balet Amerika tidak memiliki emosi dan keagungan. Pada titik tersebut, ia merasa semakin meyakini dunia Timur jauh lebih kaya dari Barat. Menurutnya Indonesia memberikan kemungkinan yang tak terhingga untuk kreasi tari. Ia dengan tegas mengungkapkan, sekembalinya dari Amerika, seluruh perhatiannya bertumpu di tanah air sendiri (“Farida Syuman: Ballet Amerika Telah Sampai pada Jalan Buntu”, Kompas, 4 Juli 1974).
Farida mengungkapkan, sekembalinya dari Amerika konsentrasi minatnya berubah pada tarian rakyat, khususnya terkait folklor:
“Kini perhatianku ke sana. Saya rasa, saya akan pergi ke sana. Kau harus membedakan mana yang Ethnik-Folklore dan Stage-Folklore. Yang terakhir tadi adalah pengolahan yang pertama. Kini saya telah bebas untuk bergerak dan menari apa saja. Saya tak mau terikat lagi pada disiplin etnik balet klasik. ini lebih baik, karena kemungkinan baru terbuka.”
(Farida Feisol, Kompas, 4 Juli 1974)
Konsistensi Farida untuk menemukan balet citra Indonesia terlihat dari proses kreatifnya dalam sepuluh tahun sepulang dari Amerika. Jawabannya pun tetap konsisten ketika sepuluh tahun sesudahnya (“Setelah Cerai dengan Syumanjaya Justru Kesenian Itu Muncul”, Merdeka, 14 Januari 1984). Ketika ditanya kenapa sepulang dari Barat Farida banyak melahirkan balet citra Indonesia, ia menyatakan itu adalah sebuah kewajaran:
“Ini hal yang wajar. Kita kan orang Indonesia. Apa salahnya membuat kesenian dengan latar belakang tradisi, kendatipun kesenian itu pada mulanya berasal dari Barat. Justru di sinilah istimewanya. Banyak naskah drama yang diadaptasi ke Indonesia, pada umumnya juga menarik. Begitu juga balet. Saya kira jarang negara mempunyai ide semacam ini. Malaysia, Singapura belum tentu ada. Masalah perkembangan di masa mendatang, semua para pembina yang ikut Pekan tahun lalu menyambut gembira. Ini satu bukti Citra Indonesia bisa diterima lho!”
(Harian Merdeka, 14 Januari 1984)
“Pekan tahun lalu” yang dimaksud Farida adalah agenda Pekan Balet I/1982 yang diselenggarakan oleh DKJ dan IPPB Jakarta dari tanggal 24 November-1 Desember 1982. Sebagaimana disinggung di awal catatan ini, hasrat untuk menemukan balet bercitrakan Indonesia memang tampak sangat besar dalam penyelenggaraan Pekan Balet, salah satunya karena DKJ atau IPPB ingin meletakkan seni tari balet yang bercitrakan Indonesia, balet yang memiliki rasa serta identitas Indonesia, tetapi tidak meninggalkan dasar balet klasik. Dalam kata sambutannya selaku Ketua Komite Tari DKJ, Farida menuliskan:
“Pekan Balet DKJ I/1982 yang akan diselenggarakan dalam bulan November ini adalah sebagai manifestasi dari luapan minat dan hasrat para penari, para pembina serta para penggemar seni tari Balet. Dan dalam penyelenggaraannya DKJ bekerjasama dengan IPPB Jakarta yang ternyata keduanya memiliki konsep kebudayaan yang sama yaitu ingin meletakkan dasar seni tari Balet yang bercitra Indonesia. Penyelenggaraan Pekan Balet ini juga sekaligus dimaksudkan untuk memperoleh data tentang kemampuan grup-grup balet dalam menciptakan garapan baru yang bercitra Indonesia.
Nanny Lubis selaku ketua IPPB Jakarta dalam kata sambutannya turut mengungkapkan bahwa agenda kerjasama tersebut selain untuk meningkatkan teknik, membina bakat, juga menciptakan karya-karya bermutu bercitrakan Indonesia:
“Rencana Dewan Kesenian Jakarta untuk mengadakan suatu kegiatan tersendiri untuk seni tari balet dengan melaksanakan Pekan Balet I/1982 ini kami sambut dengan gembira dan mendukung sepenuhnya. Dengan demikian masing-masing grup/sekolah akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya selain merupakan dorongan meningkatkan teknik, membina bakat dan kreativitas penari-penari serta menciptakan karya-karya yang bermutu dengan menampilkan citra Indonesia.”
Meskipun agenda Pekan Balet I/1982 ini bentuknya peragaan, terang Nanny Lubis, tapi perlu mendapat penilaian sejauh mana grup-grup dalam membina teknik serta kreativitas mereka sehingga diadakan dua jenis pementasan. Untuk yang pertama dibentuk tim penilai terdiri dari ahli-ahli balet klasik, dan untuk yang kedua dihadirkan tim penilai dari ahli-ahli tari pada umumnya, dan tari tradisional pada khususnya. Para tim penilai, atau pemerhati dari luar negeri turut dihadirkan dalam agenda ini seperti Dr. Chua Soo Pong dari Singapura, Dr. Mohammed Ghouse dari Malaysia, Francoise Mothes dari Jerman Barat, dan Margie Kalhorn dari Amerika (kebetulan sedang berada di Jakarta). Selain itu, tim penilai Indonesia adalah Edi Sedyawati, Dr. James Dananjaya, Sal Murgiyanto, dan Sardono W. Kusumo.
Adapun para peserta dalam Pekan Balet I/1982, dengan membawa konsep balet citra Indonesia ini tidak hanya dari Jakarta, melainkan datang dari beberapa daerah lain. Berikut dirunut grup-grup peserta beserta garapan mereka:
(Image: Tabel peserta Pekan Balet I-1982)
Nama Grup | Peragaan Tari | Garapan Baru |
Sumber Cipta pimpinan Farida Feisol (Jakarta). | “Introspeksi III” (penata tari: Farida Feisol), “Ouverture dari Mikado” (penata tari: Farida Feisol). | “Gunung Agung Meletus” (penata tari: Farida Feisol, pemusik dan ide cerita: Trisutji Djulianti Kamal). |
Tunas Jaya pimpinan Ny. Ratnawati (Jakarta). | “Waltz of The Flower” (penata tari: Ny. Ratnawati), “Tari Selendang” (penata tari: Ny. Ratnawati), “Tari Katu” (penata tari: Ny. Ratnawati), “Tari Patung Kucing dan Ikan” (penata tari: Ny. Ratnawati), “Tari Hasil Bumi” (penata tari: Ny. Ratnawati). | “Anak Nakal” (penata tari: Ny. Ratnawati, pemusik: Joko S.). |
Nritya Sundara & Kursus Ballet IKJ/LPKJ (Jakarta). | “Etude C” (peragaan oleh murid-murid umur 8-11 tahun), “Etude B” (peragaan oleh murid-murid umur 11-14 tahun), “Etude A” (peragaan oleh murid-murid umur 14-17 tahun). | “Bangun Desa” (penata tari: Sunny Pranata & Marga, penata artistik: Yulianti Parani). |
Dewi Ballet Studio pimpinan Dewi Rani (Surabaya). | “Classic Variation” (penata tari: Dewi Rani), “Sungut” (penata tari: Dewi Rani), “Tango” (penata tari: Dewi Rani), “Balita” (penata tari: Dewi Rani), “Equinoxe” (penata tari: Dewi Rani). | “Credulous” (penata tari: Dewi Rani) & “Hitam Putih dalam Khayal” (penata tari: Iko Sidharta). |
Grup Narinda pimpinan Tintin Baktir (Semarang). | “Tari Persembahan” (penata tari: Tintin Baktir) & “Tari Pelangi” (penata tari: Tintin Baktir). | “Panji Laras” (penata tari: Tintin Baktir). |
Grup Utarina pimpinan Ny. Yuce Hidayat (Cirebon). | “Victoria Dance” (penata tari: Ny. Yuce Hidayat) & “Bunga dan Cinta” (penata tari Ny. Yuce Hidayat). | – |
Grup Cicilia pimpinan Ade Siregar (Jakarta) | “Pink In Dance” (penata tari: Ade Siregar) & “Tik-Tok” (penata tari: Ade Siregar). | “Keleting Kuning” (penata tari: Ade Siregar). |
Grup Yenni Muliaty pimpinan Yenni Muliaty (Jakarta). | “Tari Berdoa” (penata tari: Yenni Muliaty), “Tari 8 Teman” (penata tari: Yenni Muliaty), “Tari Rebana dan Tepuk Tangan” (penata tari: Yenni Muliaty), “Tari Nelayan” (penata tari: Yenni Muliaty). | “Bawang Merah dan Bawang Putih” (penata tari: Yenni Muliaty). |
Art Galina Ballet pimpinan Jeanne Oentari (Malang). | Ballet Klasik “Three Point” (penata tari: Ine Indriati, Nanik Handoko, Chatarina), Ballet Klasik “Embun Pagi” (penata tari: Jeanne Oentari), Ballet Character “Tari Hungaria” (penata tari: Jeanne Oentari), Ballet Modern “Tari Cobra” (penata tari Jeanne Oentari). | – |
Namarina pimpinan Nanny Lubis. | “Allegro” & “Finale” dari “Symphonie in C” (penata tari: Balanchine, ditata kembali oleh Maya Tamara/Nanny Lubis). | “Nyi Endit” (penata tari: Maya Tamara & Nanny Lubis). |
Konsep balet bercitra Indonesia yang ditawarkan melalui Pekan Balet I/1982 merupakan ‘barang baru’ bagi sebagian besar peserta. Harian Kompas dalam catatannya menuliskan bahwa sempat ada keluhan saat diskusi akhir agenda tersebut. Para peserta dari luar Jakarta bahkan kebingungan dan mengaku terpaksa menciptakan balet bercitra Indonesia supaya dapat ikut serta. Mereka merasa tidak tahu bagaimana proses penggabungan balet dengan tari lain dapat dilakukan. Tapi semangat mereka tidak pupus, mereka menyatakan, “Sebagai orang Indonesia, kami juga ingin bisa melakukannya” (“Diskusi Balet: Masih Dipertanyakan Citra Indonesia dalam Balet”, Kompas, 2 Desember 1982).
Edi Sedyawati selaku pengamat, pada diskusi akhir agenda Pekan Balet I/1982 menyatakan, meskipun masih dini tapi banyak yang bisa dilihat sebagai citra Indonesia dalam sepekan pertunjukan. Ia menandaskan, rasa gerak yang ditampilkan oleh peserta sebenarnya sudah menunjukkan rasa Indonesia. Sementara itu Dr. James Danandjaja selaku Ketua Dewan Pengamat dan Penilai, dalam kertas kerjanya ketika diskusi mengatakan, setidaknya terdapat lima kriteria yang harus dipenuhi sebagai pedoman untuk karya balet bercitra Indonesia: (1) Harus mengandung gerak tari dari salah satu tari Nusantara yang telah disesuaikan dengan tari balet; (2) harus menggunakan tema salah satu kesusastraan Nusantara, baik lisan maupun tulisan; (3) harus menggunakan dekor, model pakaian, seni rias tubuh, wajah dan rambut, salah satu kebudayaan suku bangsa yang telah disesuaikan dengan kesenian balet; (4) harus menggunakan musik modern yang menggunakan melodi dan irama musik salah satu suku bangsa; (5) harus bernapaskan jiwa salah satu suku bangsa Nusantara.
Dari sepekan pertunjukan dari berbagai grup peserta Pekan Balet I/1982, hampir semua pengamat bersepakat garapan balet yang dianggap paling dekat dan dapat disebut sebagai balet dengan citra Indonesia adalah pertunjukan Sumber Cipta garapan Farida Feisol berjudul Gunung Agung Meletus yang musiknya digarap Trisutji Djuliati Kamal. Edi Sedyawati mengatakan secara visual, warna dan garis-garisnya memberi rasa rupa Indonesia. Gerak pada bentuk serta ritme pertunjukan tersebut juga memperlihatkan kesan lembut, luwes, seperti ia ingin menuangkan rasa Indonesia di atas dasar teknik baletnya.
(Bersambung)