Seorang bocah berusia belasan tahun tengah menonton acara musik di televisi. Yang tengah tayang adalah seorang penyanyi dikelilingi beberapa orang yang menari dengan lincah. Dalam pikiran si bocah, dia hanya ingin melihat penampilan penyanyi favoritnya. Si bocah merasa terganggu dengan kehadiran penari-penari tersebut; sebuah pemikiran yang kelak, bertahun-tahun kemudian, berhadapan dengan kenyataan yang ada di depan matanya.
Bocah itu kemudian menjadi dewasa dan perjalanan hidup telah mengarahkannya menjadi seorang fotografer. Sampai dalam sebuah kesempatan, dia diminta mendokumentasikan penari-penari yang tampil di sebuah televisi swasta. Apa yang dia pikirkan tentang penari ketika masih bocah kemudian berubah; dia melihat bagaimana para penari bekerja keras untuk menghadirkan penampilan yang baik.
Bocah itu adalah saya, yang saat ini banyak memotret pertunjukan tari. Saya sendiri lupa kapan tepatnya mulai aktif memotret tari; sementara ingat bersentuhan dengan fotografi sejak SMA, sampai mengikuti pelatihan dasar fotografi semasa kuliah. Adalah tahun 2002 ketika magang di sebuah majalah musik yang membuat saya semakin dalam menekuni fotografi. Yang saya ingat ketika magang, saya pernah memotret pentas tari yang digelar oleh EKI Dance Company di Taman Ismail Marzuki, tepatnya di Graha Bhakti Budaya.
Ketertarikan untuk mendalami fotografi tari dipicu setelah sebelumnya diajak menjadi bagian dari tim dokumentasi acara pusat kebudayaan Prancis di Jakarta; karena saya penasaran bagaimana mendapatkan hasil foto tari yang bagus. Karena di acara tersebut saya benar-benar belajar dari nol dan saya tidak puas dengan hasilnya. Foto saya banyak yang gagal karena saya merasa tidak berhasil menangkap gerakan penari dengan baik. Bermaksud membekukan gerakan yang indah berujung gagal karena menurut saya pencahayaan tidak mendukung; pun sebaliknya, ketika cahaya mendukung, saya tetap gagal membekukan gerakan dengan baik. Salah satu penyebabnya karena saya langsung memotret saat acara; karena saya tidak mengikuti proses persiapannya. Saya pun mulai aktif mencari informasi pentas tari lalu berusaha mendapatkan akses. Memang tidak gampang untuk mendapatkannya, apalagi bila pentas bertiket. Namun usaha tidak mengkhianati hasil; akhirnya saya berhasil, juga tidak jarang pula gagal, mendapatkan izin untuk memotret sebuah pentas tari.
Dengan mengikuti persiapan sebuah pentas tari sedari awal setidaknya memudahkan saya untuk memotret di saat pentas; karena saya jadi mengetahui blocking dan pencahayaan untuk tahu dari mana saya harus memotret. Termasuk mengikuti proses di belakang layar, hal inilah seperti yang saya kisahkan di awal tulisan ini mengubah pandangan saya tentang tari dan penari; bahwa dibutuhkan kerja keras yang memakan banyak waktu dan tenaga untuk menghasilkan sebuah karya tari yang kadang ditampilkan dalam waktu singkat. Untuk itulah saya berusaha untuk tidak melewatkan mengabadikan kegiatan di belakang layar. Semua yang terjadi dalam proses kreatif sebuah pementasan tari bagi saya adalah hal yang menarik, yang penting untuk diabadikan. Pentas tari dan persiapannya menurut saya tidak bisa dipisahkan. Sebagai fotografer, diperlukan kejelian dan kesigapan untuk menangkap momen yang kadang hanya terjadi sekejap mata.
Semakin bertambahnya jam terbang membuat saya menyadari bahwa memotret tari tak sekadar memotret orang yang sedang menari. Awalnya saya cukup puas dan bangga dengan foto-foto yang saya hasilkan, karena saya merasa sudah berhasil menangkap gerakan dengan baik. Tapi ternyata masih banyak yang harus saya perbaiki.
‘Gerakan puncak’, saya tidak tahu apakah ini adalah istilah yang tepat. Setiap tari memiliki pakemnya masing-masing, yang dalam pentasnya akan ada ‘gerakan puncak’ yang menurut versi saya adalah gerakan yang mencapai titik sempurna. Di mata awam, gerakan itu bisa saja tak terlihat bedanya. Namun akan lain di mata fotografer yang berada di belakang lensa.
Saya terus berusaha memperkaya pengetahuan tari dengan mencari referensi baik melalui buku, internet, serta bertanya langsung kepada para penari dan koreografer. Bahkan beberapa kali saya ikut menjadi peserta dalam kegiatan olah tubuh untuk penari; saya mencoba untuk memahami setidaknya sedikit gerakan dasar tari untuk merasakan langsung. Mungkin terdengar klise, tapi nyatanya tidak berhenti belajar dan terus memotretlah yang mengasah kepekaan saya untuk menangkap momen-momen termasuk ‘gerakan puncak’ sebuah pentas tari.
Foto-foto yang saya hasilkan berusaha saya simpan serapi mungkin di hard disk, walau kemudian dalam perjalanan waktu ada puluhan giga yang harus saya ikhlaskan karena hilang. Ada yang terselamatkan karena saya memajangnya; juga di blog yang namun saya lupa sandinya. Melalui social media, saya bisa melihat perkembangan foto-foto yang saya hasilkan; juga sebagai portofolio yang bisa dilihat oleh siapa saja. Belakangan ini saya berpikir, daripada file hanya menjadi fosil di hard disk, saya memilih dan mencetak beberapa foto, lalu hasilnya saya serahkan kepada yang berkepentingan, yang berada di dalam foto tersebut. Senang melihat senyum mengembang yang menghiasi wajah penerimanya.
Memotret pertunjukan tari dan menyimpannya dengan sebaik-baiknya adalah hal kecil yang dapat saya lakukan untuk dunia tari. Semoga kelak foto-foto saya berguna, karena saya tidak akan pernah tahu bagaimana nasib foto-foto tersebut ke depannya. Lalu jika memang belum tahu akan seperti apa nasib foto-foto yang saya hasilkan, kenapa saya masih saja terus memotret? Karena saya tak ingin mengulangi kesalahan soal pengarsipan yang di negara ini sangatlah kurang; karena untuk mendapatkan foto-foto lawas, kita harus bersusah payah mencarinya. Sangat disayangkan saat foto-foto tentang sejarah Indonesia, dalam hal ini tari, ditemukan di luar negeri. Bahkan tidak sedikit pelaku tari sendiri pun belum tentu menyimpan dengan baik atau bahkan memiliki dokumentasi foto selama aktif menari.
Bila dijaga dengan baik dalam pengarsipannya, sebuah foto dapat menjadi saksi sejarah kejadian yang telah lampau; bertambah nilainya semisal subyek di dalam foto telah tiada. Bagaimana seorang tokoh tari tengah tampil dengan gagah ketika menari, indahnya kostum yang dikenakan. Meski harus diakui foto tidak dapat menggambarkan runutan gerakan yang tengah ditarikan; berbeda tentunya dengan video yang dapat merekam tarian dari awal sampai akhir.
Sebuah tarian dimana pun dipentaskan akan selalu menarik untuk diabadikan. Di pinggir jalan, di ruangan pengap yang panas, hingga gedung pertunjukan berpendingin ruangan. Karena setiap lokasi memiliki ceritanya masing-masing.
Kameraku masih belum canggih, hasil foto juga masih apa adanya. Namun tidak jadi masalah karena ada yang namanya proses; karena kamera hanyalah alat. Yang dibutuhkan adalah konsistensi untuk terus memotret, untuk kelak menemukan ‘kuncian’ memotret dengan baik. Walaupun awalnya foto yang dihasilkan tidak sesuai standar fotografer profesional, namun terus mendokumentasikan adalah langkah untuk terus memantik kesadaran. Tak hanya penari senior yang butuh sorotan atau didokumentasikan, para penari muda juga pemula butuh didekati untuk mengabadikan perjalanan karya mereka; untuk terus mendokumentasikan tari.