Jika kita bicara soal tubuh manusia, kita akan mengasosiasikannya dengan bagian dari diri kita yang dikendalikan oleh otak atau pikiran kita. Dalam sains modern, dikatakan bahwa seluruh bagian dari anggota tubuh manusia dapat dikendalikan oleh otak atau pikiran; oleh karenanya, tubuh dianggap sebagai benda yang pasif dan tidak otonom. Seperti yang dikatakan oleh Rene Descartes pada abad ke-17, tubuh merupakan “hal berkeluasan” (res extensa) dan substansi ragawi (corporeal substance) yang bersifat pasif. Tubuh juga dianggap sebagai objek yang dikenai tindakan; oleh karenanya, ia dianggap sebagai “benda” pasif yang dapat dikendalikan. Menurut Descartes, bisa jadi justru pikiranlah yang merupakan subjek aktif karena dapat mengendalikan. Namun ia masih meragukan pemikirannya ini—karena otak juga bagian dari tubuh. Pertarungan antara tubuh dan pikiran ini pun masih menjadi misteri (Synott, 2003).
Berbeda dengan Descartes, bagi Merleau-Ponty, keberadaan tubuh merupakan elemen penting dalam wacana kesadaran dan pengalaman; pemikirannya ini disebut sebagai “fenomenologi tubuh” (Ponty, 1962). Pemikiran Ponty ini memunculkan dasar pemikiran bahwa tubuh bersifat otonom; ia dapat mengalami, merasakan, dan menghayati dunianya. Interaksi tubuh dengan dunia di luar kendali otak, karena ia bukanlah objek melainkan subjek yang aktif. Saya dapat melihat relasi pemikiran ini pada kesenian yang berkaitan dengan ketubuhan, baik itu seni teater maupun seni tari. Sebagai contohnya dapat kita lihat dalam seni tradisi yang melibatkan tubuh, yaitu kendali otak dalam nalarnya tidak terlihat berperan pada penari yang mengalami “keterbawaan” atau “kerasukan” ketika sedang menari atau menampilkan sebuah pertunjukan. Tubuh penari dengan bebasnya bergerak tanpa terkendali.
Sementara itu, Deleuze memiliki pemikiran bahwa tubuh merupakan sembarang susunan yang tidak perlu diikat menjadi sebuah kesatuan dalam konsepnya, yaitu “tubuh tanpa organ-tubuh menjadi”. Berdasarkan pemikiran tersebut, saya kemudian melihat bagaimana keberhasilan sebuah pertunjukan tari atau teater sangatlah ditunjang oleh tubuh-tubuh yang melakoni atau ditampilkan. Sehebat apapun konsep koreografi maupun naskah teater atau gagasan seorang sutradara, tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh tubuh-tubuh yang mumpuni. Tubuh-tubuh tersebut terlepas dari kendali nalar si pemiliknya, sehingga pemahaman atas gagasan juga harus dipahami oleh tubuh. Tubuh haruslah terlebih dahulu mengalami suatu pengalaman atau peristiwa, karena tubuh memiliki ‘ruh’-nya sendiri di luar pikiran. Dengan cerdasnya, tubuh dapat menyerap ingatan, bahkan ia juga dapat memproduksi makna ruang.
Representasi Memori Tubuh
Pertunjukan Melati Suryodarmo di Malam Penutupan DKJ Fest 2023, berjudul Lecture Performance: Unpacked No.3., memperlihatkan bagaimana tubuhnya telah banyak mengalami, tidak hanya gerak, melainkan juga peristiwa dan ruang—yang kemudian dihadirkan kembali melalui tubuhnya dalam pertunjukan tersebut. Dijelaskan bagaimana tubuhnya sebagai perempuan Indonesia yang pernah mengalami alienasi selama bersekolah tari di Jerman; namun kemudian tubuhnya semacam menyerap segala sesuatu yang dialami. Melati juga bercerita tentang seluruh pengalamannya yang kemudian direspon dalam bentuk pertunjukan. Seluruh pengalaman direpresentasikan oleh tubuhnya.
Dari penjelasan tersebut, saya melihat bahwa tubuh dapat menghadirkan kembali makna-makna yang telah dicerap. Tubuh dapat menyerap ingatan yang berbeda cara kerja dengan otak menyerap ingatan. Dalam Lecture Performance: Unpacked No.3, produksi ruang terjadi dengan makna yang berubah-ubah, yang diciptakan oleh tubuh Melati. Tubuh secara subjektif menghadirkan ruang-ruang ingatan yang dituangkannya ke dalam pertunjukan. Panggung kosong dengan set yang minimalis, kemudian menciptakan ruang-ruang multimakna yang berubah-ubah dan ditampilkan oleh tubuh, yakni tubuh dengan pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang diserapnya.
Pembongkaran atas proses penciptaan karya-karya Melati dihadirkan kembali oleh tubuhnya. Subjektivitas pemikiran dihadirkan oleh tubuhnya, namun tidak semua gerakan tubuhnya benar-benar dikontrol oleh kehendak otak; ada gerakan-gerakan tubuh yang muncul secara merdeka, yang hadir akibat dari serapan ingatan tubuh bukan pikiran. Seperti ketika ia melecutkan cambuk layaknya pertunjukan kuda lumping, gerakannya kuat dan sangat ekspresif. Gerakan melecut cambuk ini tentunya akan sulit dilakukan jika tubuhnya belum menyerap ingatan (terlatih).
Perjalanan Melati juga telah membuat tubuhnya banyak belajar dan menyerap banyak hal, termasuk ketika ia pergi ke Makassar; tubuhnya merekam bunyi dan segala ritual. Hal ini juga terjadi pada para penari tradisi yang mengalami “keterbawaan”, dengan tubuh yang bisa bergerak tanpa kendali, tanpa sadar, tanpa kendali otak (pikiran); tubuh punya kemerdekaan atas dirinya sendiri, tubuh menjadi subjek yang aktif. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa tubuh memang punya kehendaknya sendiri, tidak selalu bergantung pada otak. Tubuh dapat bernegosiasi dengan otak (pikiran), dan mungkin terkadang bisa mendominasi peran otak (pikiran).
Saya teringat juga pada kata-kata Farida Feisol yang mengatakan bahwa tidak akan pernah ada pertunjukan tari yang hebat dari seorang koreografer hebat, kecuali didukung oleh tubuh-tubuh penari yang juga hebat; tubuh-tubuh yang terlatih, yang telah menyerap banyak pelajaran. Artinya memang faktor tubuh ini menjadi penting. Seperti pada temuan dalam penelitian saya sebelumnya tentang Tari Balet Indonesia, yaitu tari balet yang dalam koreografinya dimasukkan unsur tari tradisi, juga ditemukan hal yang sama. Ketika gerakan tari tradisi hanya ada dalam rancangan koreografi namun penari tidak menguasai (terlatih), maka gerakan yang dihadirkan menjadi tidak ada ‘rasa’ atau ‘ruh’; terlihat hanya seperti tempelan, tidak terepresentasikan unsur dan ‘rasa’ tradisinya. Itu semua akibat tubuh yang tidak menyerap makna tari tradisi dengan baik; tubuh tidak mengalami menari tradisi dengan utuh. Oleh karenanya, agar tubuh dapat memproduksi dan merepresentasikan makna, maka tubuh harus mengalami dan menyerap banyak hal. Pengalaman langsung menjadi faktor utama, seperti yang dikatakan oleh Merleau Ponty bahwa pengalaman merupakan hal yang dapat mempersepsikan suatu makna dalam keterkaitannya antara tubuh dan dunia.
Ruang dan Peristiwa
Ruang, sebagai suatu wadah yang bermakna dan menghadirkan peristiwa-peristiwa, tentunya juga melibatkan tubuh-tubuh dalam produksi makna dan peristiwa. Baik dalam proses produksi ruang maupun keterlibatan tubuh yang tanpa sengaja hadir dalam ruang di suatu peristiwa. Keterlibatan tubuh terjadi tidak secara pasif, melainkan secara aktif.
Tubuh dapat merespon segala hal dalam ruang. Seperti para pemain parkour, gerakan tubuhnya dapat merespon segala bentuk dalam ruang kota: tinggi atau rendahnya bangunan, kontur tanah yang landai atau curam, datar atau bergelombang. Begitu pula dalam seni pertunjukan, para penari maupun pemain teater, dapat menguasai (dan merespon) bentuk dan ukuran ruang yang berbeda-beda. Ruang sempit atau luas, kondisi saat latihan yang berbeda dengan pementasan, namun tubuh penari tetap wajib meresponnya dengan luwes.
Ruang merupakan lingkungan tempat manusia berada. Ruang juga merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan (Hoed, 2011: 109-110). Ruang akan terus diproduksi maknanya (diberi makna) oleh manusia sebagai subjek pengguna ruang. Ruang merupakan wilayah yang diisi dan diberi makna oleh masyarakat secara sosial (melalui aktivitas dan interaksi). Ruang juga merupakan produk sosial yang tidak pasif tapi sangat dinamis, karena bebas ‘diisi’ pemaknaan oleh berbagai pihak dengan unsur-unsur: benda, makhluk, arsitektur, pengumuman, peraturan, banner, poster, teater, musik, termasuk juga tari—sehingga tari merupakan bagian dari produksi ruang. Tradisi dan kepercayaan merupakan salah satu aspek dalam produksi ruang. Sebagai contoh, Tari Seblang yang merupakan spiritualisme sekaligus sebagai kearifan lokal dalam upaya menyelamatkan lingkungan (alam) ruang hidup manusia. Bahkan tari Seblang juga berperan dalam membentuk citra atau identitas ruang kota Banyuwangi termasuk berperan dalam produksi makna aktivitas kebudayaan di masyarakatnya.
Ruang menyimpan ingatan pada artefak-artefak yang berada dalam ruang tersebut. Ruang juga dapat menghadirkan kembali ingatan atau peristiwa yang lampau dalam bentuk ruang yang baru. Sedangkan tubuh dapat menyerap ingatan untuk kemudian dihadirkan dalam ruang-ruang. Selain merespon ruang, tubuh juga dapat memproduksi ruang dan maknanya. Semua gerakan yang telah diserap oleh tubuh kemudian dihadirkan kembali dalam sebuah ruang pertunjukan, maka otomatis tubuh juga berperan sebagai aktor dalam memproduksi makna ruang. Hal ini yang terjadi dalam pementasan Melati pada pertunjukan Lecture Performance: Unpacked No.3.: semua respon tubuh yang telah diserap (sebagai ingatan) di berbagai tempat dan ruang, dihadirkan kembali dalam satu ruang pertunjukan, namun memiliki makna yang berbeda-beda. Saya pun menyimpulkan bahwa antara tubuh dan ruang memiliki keterhubungan yang aktif; keduanya sama-sama memproduksi makna.
Kausalitas yang Menghidupkan
Tubuh secara otonom dapat merespon ruang secara aktif dan menghasilkan makna-makna. Tubuh pun menjadi ruang arsip bagi ruang yang didatanginya. Memori tentang ruang, baik itu nostalgia atau trauma, tetap membentuk sebuah lembaga sendiri di ingatan. Tubuh dan ruang yang selalu dianggap sesuatu yang pasif ternyata dapat secara aktif memproduksi dan mereproduksi berbagai makna. Melalui pembacaan ini, dapat dikatakan juga bahwa peristiwa atau pertunjukan tari dalam perkembangannya (yang dapat dilihat dalam arsip-arsip repertoar pertunjukan tari) turut berperan serta dalam membentuk/memproduksi makna ruang, dan citra-identitas suatu ruang. Seperti tubuh, ruang memiliki kehidupan yang terus dihidupkan oleh manusia dan peristiwa-peristiwa yang menyertainya.